Watch our video review in english below.

     Solo: A Star Wars Story merupakan satu lagi proyek spin-off dari seri Star Wars, setelah Rogue One yang rilis dua tahun lalu. sineas kawakan, Ron Howard mendapatkan kepercayaan besar untuk menggarap film ini dengan dukungan bintang-bintang muda, seperti Alden Ehrenreich, Emilia Clarke, Donald Glover, serta aktor-aktris senior macam Woody Harrelson, Thandie Newton, serta Paul Bettany. Dengan mega-bujet sebesar US$ 250 juta, film berdurasi 135 menit ini diharapkan mampu mengikuti sukses komersial seri film sebelumnya. Kisahnya merupakan latar belakang sosok Han Solo semasa muda, bagaimana ia bertemu sobatnya, Chewbacca serta Lando, hingga bagaimana ia terlibat menjadi seorang penyelundup barang sekaligus sosok yang membenci kekaisaran.

    Problem dari kisah prekuel macam ini adalah karena kita (khususnya pecinta seri Star Wars)  tahu persis bagaimana sosok Han sejak A New Hope hingga karakter ini tewas dalam Force Awakens. Plotnya menggambarkan bagaimana Han juga Chewie, berproses hingga menjadi sosok seperti yang telah kita tahu sekarang. Kita juga semua tahu, proyek ini terinspirasi dari konsep universe yang kini tengah panas-panasnya sehingga segalanya dipaksakan untuk membangun konsep ini. Memaksa? Boleh dibilang ya, namun Rogue One masih terasa sedikit lebih baik. Masalah besar film ini, jelas ada pada naskah yang terlalu datar sehingga terasa begitu membosankan. Segalanya berjalan begitu cepat tanpa konflik berarti dan kita nyaris tak peduli dengan semua karakter yang ada dalam film ini. Dialog-dialog yang begitu buruk mampu mengarahkan cerita dengan jelas sehingga segalanya mudah sekali diantisipasi. Tak ada ketegangan sama sekali bahkan segmen aksi sekalipun. Segalanya terasa tak menggigit, tak ada sisi dramatik, sisipan komedi pun terasa garing (formula lawas), tak ada kejutan, seolah hanya formalitas belaka untuk mengenalkan sosok legendaris, Han Solo. Sungguh mengecewakan sekali dan tak heran jika penonton terlelap selama film berjalan. Satu lagi hal aneh adalah sosok antagonis dari film sebelumnya muncul sekilas (jika benar sosok ini) dan ini membingungkan timeline kisahnya karena sosok ini rasanya telah tewas jauh di masa sebelumnya.

Baca Juga  Ted

    Namun, kelebihan Solo jelas ada pada pencapaian estetiknya khususnya aspek visual. Settingnoir” di separuh awal sebenarnya telah berpadu sempurna dengan kisahnya yang bernuansa kriminal. Di luar kisahnya, segmen akhir yang beraroma western juga berpadu baik dengan setting-nya. Pencapaian CGI jelas tak lagi diragukan dengan visualisasi yang sangat natural. Lagi, di luar kisahnya yang lemah, segmen aksi di kereta barang yang melaju dengan cepat disajikan amat sangat menawan. Sementara ilustrasi musik yang menjadi salah satu kekuatan seri Star Wars, kini tak terasa menggigit, dan musik tema “lawas” kadang muncul pada momen tertentu, yang sedikit memicu nostalgia. Sulit untuk bicara soal pencapaian akting karena sekali pun semua aktor-aktrisnya bermain prima, mereka dikecewakan naskah yang lemah.

     Di luar pencapaian estetiknya, Solo merupakan cara yang buruk untuk memberikan penghormatan kepada satu karakter ikonik dalam sejarah sinema melalui naskah yang lemah dan mudah diantisipasi. Konsep universe yang akan dibangun ke depan untuk seri Star Wars, jutru bisa menjadi bumerang untuk franchise ini. Penonton butuh sesuatu yang baru, dan kelak ada momen di mana semua akan bosan dengan formula ini, entah apa pun franchise-nya. Kabarnya, sosok Boba Fett, Lando, Obi Wan juga akan dibuat spin-off-nya. Apa lagi yang mau ditawarkan kisah dari sosok seperti Obi Wan? Mengapa tidak sosok Yoda muda yang memungkinkan pendekatan cerita yang lebih filosofis dan dalam. Entah apa pun itu, setidaknya bisa menawarkan sesuatu yang baru dan segar. Saya masih ingat pernah bermain game Podracer (Episode 1), belasan tahun silam. Rasanya ini memungkinkan kisah yang jauh lebih menarik jika ingin dibuat spin-off-nya.

WATCH OUR REVIEW

PENILAIAN KAMI
Overall
50 %
Artikel SebelumnyaTrailer The Jungle Book Versi WB Rilis!
Artikel BerikutnyaYayan Ruhian dan Cecep Arif Akan Hadapi John Wick
His hobby has been watching films since childhood, and he studied film theory and history autodidactically after graduating from architectural studies. He started writing articles and reviewing films in 2006. Due to his experience, the author was drawn to become a teaching staff at the private Television and Film Academy in Yogyakarta, where he taught Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory from 2003 to 2019. His debut film book, "Understanding Film," was published in 2008, which divides film art into narrative and cinematic elements. The second edition of the book, "Understanding Film," was published in 2018. This book has become a favorite reference for film and communication academics throughout Indonesia. He was also involved in writing the Montase Film Bulletin Compilation Book Vol. 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Additionally, he authored the "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). Until now, he continues to write reviews of the latest films at montasefilm.com and is actively involved in all film productions at the Montase Film Community. His short films have received high appreciation at many festivals, both local and international. Recently, his writing was included in the shortlist (top 15) of Best Film Criticism at the 2022 Indonesian Film Festival. From 2022 until now, he has also been a practitioner-lecturer for the Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts in the Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.