Satu subgenre menarik disajikan dalam ajang Jeonju IFF melalui film bertitel Some Like it Cold arahan Hong Sung-eun. Film zombi lazimnya kita temui dalam arena mainstream, terlebih kita tahu industri film Korea Selatan telah menghadirkan film-film zombi berkualitas tinggi dalam satu dekade belakangan. Some Like it Cold melakukan debut rilisnya di festival ini sebelum (mungkin) rilis di teater. Sang sineas sendiri adalah sutradara perempuan yang sudah malang melintang di ajang festival film melalui debutnya, Aloners (2021). Sebagai fans film zombi, saya tertarik, apa yang akan ingin ditawarkan sang sineas?
Kisahnya berlatar pasca pandemi zombi yang merebak di Korea Selatan dan otoritas pun telah mengumumkan negara ini bebas dari wabah zombi. Kota-kota besar menyisakan kesunyian luar biasa sementara pihak militer masih menyisir beberapa wilayah untuk mencari dan membunuh sisa-sisa zombi yang banyak di antaranya disembunyikan warga. Gerakan Front Pembela Zombi muncul yang menganggap kebijakan tersebut tidak manusiawi. Mereka menginginkan untuk merelokasi para zombi ke Alaska karena udara dingin rupanya membantu memperlambat proses menjadi zombi permanen, sembari menanti vaksin penyembuh ditemukan.
Na-hee (Park Yu-rim) adalah seorang petugas bantuan yang tugasnya mengambil jasad para zombi hasil penyisiran pihak militer. Suatu ketika ia bertemu dengan zombi pria unik, Eun-bi (Bang Won-kyou) yang masih mampu berkomunikasi normal. Aksi Eun-bi yang selama ini bersembunyi di lemari pendingin, rupanya menghambat virus menjalar ke otaknya. Na-hee yang ribut dengan pacarnya, akhirnya nekat untuk membantu Eun-bi bertemu kelompok front pembela zombi agar bisa direlokasi ke Alaska.
Subgenre zombi yang memadukan sisi drama, roman, dan komedi bisa jadi terhitung langka. Walaupun, premis dan latar kisahnya, bukan hal yang baru bagi subgenrenya. The Cured misalnya, juga berlatar pasca wabah yang membagi zombi menjadi dua kelompok, separuh zombi dan zombi utuh, yang kisahnya sarat nuansa politik. Some Like it Cold juga mengingatkan banyak pada Warm Bodies, yang juga membagi zombi dalam kelompok yang sama serta bagaimana sang zombi protagonis jatuh hati kepada seorang gadis normal. Some Like it Cold memiliki perspektif berbeda hanya problemnya adalah pada eksekusi bukan premisnya.
Film zombi low budget sudah sejak awal muncul. Satu contoh sempurna adalah film zombi pelopor Night of the Living Dead (1968) garapan bapak zombi, George Romero. Dengan bujet minim pada masanya, film ini mampu memberikan sisi ketegangan melalui naskah dan pesan yang solid. Sementara Some Like it Cold terasa sekali berusaha mengakali lokasi dan properti untuk tujuan efisiensi adegan. Satu adegan ketika dua petugas membuang jasad zombi ke lokasi pembakaran massal, hanya menggunakan sudut pengambilan shot minimalis tanpa diperlihatkan ratusan zombi di baliknya. Ini sah saja, namun penonton masa kini sudah terbiasa dengan tontonan yang kolosal, mewah, dan megah. Ini berbeda jika gaya estetiknya digarap secara handheld dengan format found footage, misalnya. Rasanya, pilihan konsep estetik dan visualnya terasa kurang tepat bagi naskah dan bujetnya.
Some Like it Cold adalah sebuah percobaan eksplorasi cerita bagi subgenrenya dengan pendekatan low budget yang kurang memberikan gigitan membekas. Untuk sebuah feature yang dirilis teater, film ini jelas sulit bersaing dengan film-film zombi modern produksi lokal. Secara visual, gaya estetiknya lebih tepat untuk seri televisi atau nonbioskop (streaming). Untuk level festival pun, film ini tidak memiliki value estetik serta cerita yang terhitung unik. Premis dan kisahnya jelas punya peluang dan potensi untuk diekplorasi lebih segar dan dalam. Akan tetapi Ini bukan masalah eksplorasi dan kedalaman kisah, namun adalah bagaimana sineas mengemas naskahnya menggunakan konsep dan strategi visual yang sesuai dengan bujetnya.