Sound of Freedom (2023)
131 min|Biography, Crime, Drama|04 Jul 2023
7.7Rating: 7.7 / 10 from 83,854 usersMetascore: 43
The incredible true story of a former government agent turned vigilante who embarks on a dangerous mission to rescue hundreds of children from traffickers.

Tak banyak film yang bicara soal perdagangan seks usia belia, dan tak banyak pula yang mencuri perhatian. Sound of Freedom adalah film biografi – crime thriller arahan Alejandro Monteverde. Film ini diinspirasi dari kisah sosok Tim Ballard yang menginisiasi Operation Undergrond Railroad, lembaga antiprofit perdagangan manusia. Film ini dibintangi pula beberapa bintang senior, yakni Jim Caviezel, Mira Sorvino and Bill Camp. Uniknya pula, film ini diproduseri oleh Eduardo Verástegui, seorang selebriti dan aktivis asal Meksiko yang peduli dengan isu-isu kemanusian. Siapa menyangka, film independen yang hanya berbujet USD 14,5 juta ini mampu meraih sukses fenomenal di rilis globalnya dengan meraih lebih USD 235 juta! Lantas apa istimewanya film ini?

Kisah film dibuka dengan sosok gadis cilik, Rocio, bersama adiknya, Miguel, diculik dengan modus model anak di sebuah wilayah di Honduras. Para penculik rupanya terlibat dalam satu komplotan pekerja seks anak di Kartagena, Kolombia. Sang ayah dan otoritas lokal pun tak mampu berbuat banyak. Di AS, Tim Ballard (Caviezel) adalah seorang agen khusus Homeland Security Investigation yang tugasnya menciduk para pedofil yang menyebarluaskan foto dan video pornografi anak. Melalui seorang pedofil yang menjadi targetnya, ia berhasil menyelamatkan seorang bocah yang ternyata adalah Miguel. Tergugah cerita dari Miguel, ia pun berniat untuk menyelamatkan sang kakak, Rocio, yang berarti ini melampaui wilayah jurisdiksinya.

Baca Juga  Retribution

Kisah yang sederhana, namun solid ini berjalan dengan tempo sedang yang terfokus pada sosok Ballard. Walau tak sulit diantisipasi kisahnya, sentuhan humanisnya memang sulit dielakkan. Sisi manusiawi kita dijamin tersentuh melihat nasib anak-anak malang yang menjadi korban. Melalui plotnya, kita dibawa masuk dalam satu proses pencarian Rocio yang intens ala “Mission Impossible”, melalui kolaborasi Ballard dengan pihak-pihak lokal. Satu sosok yang mencuri perhatian adalah Vampiro (Camp) yang bermain karismatik sebagai seorang eks gangster yang tobat dan kini justru membantu anak-anak yang terjebak perdagangan seks. Klimaksnya yang menegangkan ditutup dengan adegan menyentuh yang dijamin bakal melelehkan air mata siapa pun yang menonton.

Melalui isu dan tema humanis yang kuat, Sound of Freedom bekerja maksimal walau tak banyak eksplorasi bagi genrenya. Caviezel sebagai protagonis utama pun tak bermain buruk, sekalipun sosoknya terlihat “rapuh” dalam nyaris sepanjang filmnya. Satu lagi yang mencuri perhatian adalah penampilan emosional aktris cilik, Cristal Aparicio yang bermain sebagai Rocio. Satu poin kecil yang mengganjal dalam plotnya adalah sosok mantan ratu kecantikan, Giselle, yang menjadi otak pelaku utamanya melalui dalih perekrutan model anak. Dengan ketenarannya, bukankah mestinya mudah untuk melakukan investigasi pelakunya sejak awal (penculikan Rocio dan Miguel)?

Walau ini bukan masalah besar, Sound of Freedom mampu menggambarkan betapa luas dan kuatnya jaringan perdagangan seks anak, khususnya di Amerika latin. Jika benar semua fakta yang tersaji dalam epilog, tentu ini sangat memprihatinkan, di luar masalah dunia yang sudah gerah dengan isu lingkungan dan masalah kemanusiaan lainnya. Mimpi untuk umat manusia kelak bisa hidup dalam dunia penuh kedamaian rasanya hanya fantasi belaka. Setidaknya film ini mampu menyentil kita dengan cara yang efektif dan menyentuh.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
75 %
Artikel SebelumnyaSaling Silang Argumentasi dengan Tetap Terkondisi dalam Penjurian Awal FFWI XIII 2023
Artikel BerikutnyaTotally Killer
Hobinya menonton film sejak kecil dan mendalami teori dan sejarah film secara otodidak setelah lulus dari studi arsitektur. Ia mulai menulis artikel dan mengulas film sejak tahun 2006. Karena pengalamannya, penulis ditarik menjadi staf pengajar di Akademi Televisi dan Film swasta di Yogyakarta untuk mengajar Sejarah Film, Pengantar Seni Film, dan Teori Film sejak tahun 2003 hingga tahun 2019. Buku film debutnya adalah Memahami Film (2008) yang memilah seni film sebagai naratif dan sinematik. Buku edisi kedua Memahami Film terbit pada tahun 2018. Buku ini menjadi referensi favorit bagi para akademisi film dan komunikasi di seluruh Indonesia. Ia juga terlibat dalam penulisan Buku Kompilasi Buletin Film Montase Vol. 1-3 serta 30 Film Indonesia Terlaris 2012-2018. Ia juga menulis Buku Film Horor: Dari Caligari ke Hereditary (2023) serta Film Horor Indonesia: Bangkit Dari Kubur (2023). Hingga kini, ia masih menulis ulasan film-film terbaru di montasefilm.com dan terlibat dalam semua produksi film di Komunitas Film Montase. Film- film pendek arahannya banyak mendapat apresiasi tinggi di banyak festival, baik lokal maupun internasional. Baru lalu, tulisannya masuk dalam shortlist (15 besar) Kritik Film Terbaik dalam Festival Film Indonesia 2022. Sejak tahun 2022 hingga kini, ia juga menjadi pengajar praktisi untuk Mata Kuliah Kritik Film dan Teori Film di Institut Seni Indonesia Yogyakarta dalam Program Praktisi Mandiri.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.