Spaceman adalah film sci-fi drama yang digarap oleh sineas asal Swedia, Johan Renck. Film rilisan Netflix ini diadaptasi dari novel berjudul Spaceman of Bohemia (2017) karya Jaroslav Kalfař. Film ini dibintangi nama-nama besar, antara lain Adam Sandler, Carey Mulligan, Kunal Nayyar, Isabella Rossellini, dan Paul Dano. Film ini uniknya melakukan debut premiere-nya di ajang Berlin International Film Festival baru lalu. Apakah sci-fi ini memang diperuntukkan sebagai tontonan festival?

Jakub Procházka (Sandler) melakukan misi solo ke pinggir tata surya untuk menyelidiki fenomena awan ungu yang tampak dari bumi. Enam bulan sudah, Jakub berada di angkasa lepas dan sebentar lagi ia tiba di tujuannya. Istrinya yang tengah hamil tua, Lenka (Mulligan) mendadak memutus komunikasi tanpa sebab. Jakub pun selalu bermimpi buruk dan merasa berhalusinasi melihat monster berwujud laba-laba raksasa di dalam kapalnya. Makhluk tersebut juga mampu berkomunikasi, yang mengaku sebagai entiti dari sebuah planet. Semakin dekat dengan anomali, Jakub mencoba menjaga kewarasannya, di tengah masalah dengan sang istri,  sang monster, serta gangguan teknis di pesawatnya. Apakah ini semua kenyataan atau hanya imajinasinya belaka?

Spaceman di luar dugaan memiliki penceritaan yang tak biasa untuk genrenya. Jika terkait alien, lazimnya sisi aksi dan ketegangan yang dominan. Spaceman teramat jauh dari ini. Plotnya banyak mengingatkan pada film Rusia Solaris dan Interstellar garapan Christopher Nolan, melalui anomali angkasa serta relasi sang protagonis dengan seseorang di bumi. Boleh dibilang Spaceman adalah versi “indie” dari film sci-fi milik Nolan. Bagi cinephile yang terbiasa dengan tontonan seperti ini, tak sulit membaca bahwa sang monster dan anomali alam tersebut adalah problem internal sang protagonis sendiri. Jika cermat, dalam satu adegan secara eksplisit memperlihatkan bahwa sang monster adalah metafora dari istrinya. Anomali awan ungu juga mirip dengan “ruang empat dimensi” dalam klimaks Insterstellar, di mana batas ruang dan waktu tidak eksis.

Baca Juga  X

Satu yang mengejutkan tentunya adalah sang bintang sendiri yang lazimnya dekat dengan film komedi hiburan ringan. Seingat saya, ini untuk pertama kalinya Sandler bemain dalam film sci-fi plus drama “berat” macam ini. Dua film sebelumnya, Uncut Gems dan Hustle, Sandler bermain sangat mengesankan, dan kini ia pun juga tampil baik. Sekalipun bermain “solo” sepanjang filmnya, ia tampil cukup meyakinkan melalui ekspresi lelah dan kesepian setelah sekian lama di angkasa. Hanya satu hal kecil yang mengganjal adalah logat Amerika yang digunakan, sementara peran aslinya, dari namanya saja, sudah terlihat bahwa ia berasal dari Eropa Timur. Mengapa setting cerita tidak diubah berlatar AS? Bisa jadi motifnya semata loyal dengan novelnya atau lainnya, ini belum jelas, walau bukan masalah besar bagi kisah filmnya.

Jauh dari ekspektasi genrenya, Spaceman bukanlah tontonan awam melalui kedalaman kisah yang mengejutkan dan sisi absurdnya. Walau plotnya “berat”, namun substansi kisahnya sebenarnya telah dieksplorasi oleh banyak film. Plotnya ini juga mengingatkan Into the Wild, kisah biografi yang menceritakan sang tokoh berusaha mencari eksistensi dirinya di tengah alam yang ganas. Konflik Spaceman lebih sederhana, hanya dikemas demikian absurd. Manusia kadang mencari jawaban tentang kehidupan nun jauh di alam semesta maha luas, sementara jawaban, sebenarnya sudah lekat dalam dirinya. Proses pendewasaan spritual memang ideal dikemas secara imajinatif melalui genre sci-fi macam ini dan Spaceman bukan contoh yang buruk.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
75 %
Artikel SebelumnyaBonnie
Artikel BerikutnyaKung Fu Panda 4
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.