Movie Poster

Sutradara: Sam Mendes
Produser: Michael G. Wilson/Barbara Broccoli
Penulis Naskah: John Logan/Neal Purvis/Robert Wade/Jez Butterworth
Pemain: Daniel Craig/Christoph Waltz/Lea Seydoux/Ben Whishaw/Naomie Harris/Ralph Fiennes
Sinematografi: Hoyte van Hoytema
Editing: Lee Smith
Ilustrasi Musik: Thomas Newman
Studio: Eon Productions
Distributor: Metro Goldwyn Mayer Pictures/Columbia Pictures
Durasi: 148 menit
Bujet: US$ 245-300 juta

Spectre adalah menandai seri Bond ke-24 dan arahan kedua buat sang sineas, Sam Mendes. Mendes telah membuat terobosan besar melalui Skyfall sebagai penghormatan besar terhadap karakter James Bond klasik serta mengembalikan awal yang segar untuk film Bond berikutnya. Ekspektasi yang demikian tinggi untuk film Spectre ternyata membawa pada sebuah kekecewaan besar. Inti kisahnya kali ini Bond harus berhadapan dengan satu organisasi kejahatan besar, Spectre, yang ternyata masih berhubungan dengan masa silamnya. Sekali lagi dengan semua halangan yang ada, Bond berusaha menyelamatkan dunia dari kehancuran akibat rencana jahat Spectre. Sebuah plot klasik Bond yang sederhana.

Setelah opening sequence khas Bond dengan teknik long take (satu shot) dan aksi yang mengesankan kisah berikutnya berjalan amat lambat dan membosankan. Semua fans Bond klasik pasti sudah tahu siapa bos Spectre dan seperti apa besar dan pengaruhnya organisasi tersebut. Namun ide dan pengembangan cerita terkait Spectre dan hubungan masa silam dengan karakter Bond adalah ide yang sangat memaksa. Upaya untuk merangkai film-film Bond “Craig” terdahulu, yakni Casino Royale, Quantum Solace, hingga Skyfall, adalah sangat konyol. Diatas langit ada langit. Tidak habis pikir bagaimana bisa diatas organisasi seperti Ouantum masih ada lagi yang tidak terdeteksi sedikit pun oleh MI6 dan jumlah anggotanya pun besar, dan gilanya lagi, sang bos ternyata masih ada relasi kerabat dengan Bond? Ini rajutan cerita yang terlalu memaksa dan justru malah menjatuhkan film-film Bond klasik yang menghadirkan Spectre.

Baca Juga  Pitch Perfect 2

Satu lagi di luar ide cerita konyol diatas adalah tokoh antagonis ikonik Bond, Ernst Stavro Blofeld. Blofeld dalam kisahnya adalah bosnya bos, namun ia tidak memiliki karisma yang seharusnya dimiliki seorang antagonis yang punya pengaruh besar. Apa dalam film ini cuma hanya pengantar dan pengenalan karakter awal tokoh ini? Entahlah namun penggunaan aktor Christophe Waltz sebagai Blofeld rasanya juga patut dipertanyakan.

Seperti halnya Skyfall, Spectre rasanya memang ingin mengembalikan formula klasik Bond dengan adegan-adegan aksi yang lebih realistik. Satu hal yang tampak jelas dalam filmnya selain Spectre sendiri adalah penghormatan terhadap film-film Bond klasik sebelumnya. Beberapa aksi dan adegan banyak mengingatkan pada film-film Bond klasik macam From Russia with Love, Goldfinger, For Your Eyes Only, On Her Majesty Secret Service, hingga bahkan karakter Mr. Hinxs (Dave Bautista) mengingatkan kita pada musuh besar Bond, Jaws. Tidak ada yang baru dalam adegan-adegan aksi dalam Spectre, tidak ada yang spektakular, tidak ada yang diluar kebiasaan, selera humor yang sama, semuanya sudah kuno dan tidak ada usaha percobaan baru sama sekali. Banyaknya adegan dialog dalam film ini sudah cukup membuat penonton terlena sejak opening song yang sama sekali tidak menarik dilantunkan (rasanya terburuk dalam sejarah Bond).

Spectre mencoba kembali menggunakan formula klasik Bond namun tanpa ada satu pun terobosan baru, diperburuk dengan ide cerita yang memaksa, serta antagonis ikonik yang tidak karismatik. Melalui Skyfall, Mendes telah menetapkan standar sangat tinggi untuk film Bond dan memang tidak salah jika ada yang mengatakan film barunya ini adalah salah satu film Bond yang terburuk. Pamitan Craig di adegan akhir memang bisa jadi itu yang terbaik buat franchise ini karena Bond butuh sesuatu yang baru dan lebih segar.

MOVIE TRAILER

PENILAIAN KAMI
Total
50 %
Artikel SebelumnyaMontase Meraih Penghargaan Apresiasi Komunitas Film AFI 2015
Artikel BerikutnyaSITI
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). A lifelong cinephile, he developed a profound passion for film from an early age. After completing his studies in architecture, he embarked on an independent journey exploring film theory and history. His enthusiasm for cinema took tangible form in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience eventually led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched students’ understanding through courses such as Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended well beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, Understanding Film, an in-depth examination of the essential elements of cinema, both narrative and visual. The book’s enduring significance is reflected in its second edition, released in 2018, which has since become a cornerstone reference for film and communication scholars across Indonesia. His contributions to the field also encompass collaborative and editorial efforts. He participated in the compilation of Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1–3 and 30 Best-Selling Indonesian Films 2012–2018. Further establishing his authority, he authored Horror Film Book: From Caligari to Hereditary (2023) and Indonesian Horror Film: Rising from the Grave (2023). His passion for cinema remains as vibrant as ever. He continues to offer insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com while actively engaging in film production with the Montase Film Community. His short films have received critical acclaim at numerous festivals, both nationally and internationally. In recognition of his outstanding contribution to film criticism, his writing was shortlisted for years in a row for Best Film Criticism at the 2021-2024 Indonesian Film Festival. His dedication to the discipline endures, as he currently serves as a practitioner-lecturer in Film Criticism and Film Theory at the Indonesian Institute of the Arts Yogyakarta, under the Independent Practitioner Program from 2022-2024.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses