Spiderhead (2022)
106 min|Action, Crime, Drama|17 Jun 2022
5.5Rating: 5.5 / 10 from 67,756 usersMetascore: 54
In the near future, convicts are offered the chance to volunteer as medical subjects to shorten their sentence. One such subject for a new drug capable of generating feelings of love begins questioning the reality of his emotions.

Urusan obat sudah tidak bisa dilepaskan begitu saja karena manusia modern kini rasanya sudah banyak bergantung pada faktor ini. Konsumsi obat dan praktek penyimpangan untuk menghasilkan profit baik individu maupun perusahaan sudah bukan hal asing di medium film. Spiderhead mencoba mengeksplorasi sedikit lebih jauh tentang ini melalui perspektif bagaimana relasi obat terhadap sifat alamiah manusia (trauma), walaupun ujung-ujungnya tetap saja sama (profit).

Spiderhead adalah film drama yang menyerempet sci-fi arahan Joseph Kosinski yang kini sukses besar bersama Tom Cruise melalui Top Gun: Maverick. Film rilisan Netflix ini dibintangi dua bintang besar, Chris Hemsworth dan Miles Teller. Naskah film ini sendiri diadaptasi dari cerita pendek berjudul Escape from Spiderhead yang ditulis George Saunders. Dengan tema di atas dan kemasan setting modern, plus bintang dan sineas top, rasanya film ini bakal menjanjikan.

Steve Abnesty (Hemsworth) mengelola sebuah fasilitas kesehatan modern terisolasi untuk mengujicoba berbagai varian obatnya (obat penenang). Para relawan, yang pasti dibayar mahal, di mana tubuh mereka dipasangi sebuah alat yang mampu menginjeksi beragam varian obat sekaligus melalui kontrol jarak jauh. Bagaimana obat ini bekerja? Semisal, dua orang berlawanan jenis yang belum lama mengenal dan tidak ada ketertarikan fisik, nah, varian obat ini mampu memberi efek yang sebaliknya secara spontan. Panorama yang buruk bisa diubah menjadi sesuatu yang sangat indah. Singkatnya, obat ini mampu menyelesaikan masalah/trauma/kecemasan, dan lainnya dengan singkat dengan menginjeksi cairan “cinta”. Namun efek sampingnya pun juga luar biasa, dan satu relawan bernama Jeff (Teller) mengetahui ini dengan cara yang tidak mengenakkan.

Baca Juga  Triple 9

Premisnya jelas menarik, walau pesan akhirnya sederhana dan kita pun sudah sama-sama tahu. Awal kisah yang membingungkan lambat laun berubah menjadi gamblang, bahkan terlalu mudah diantisipasi arah kisahnya. Dengan setting modern yang luar biasa, mestinya kisahnya bisa diolah lebih menggigit dengan sedikit sisi kejutan. Karakter pemain yang diolah mestinya bisa lebih luas, tidak hanya sosok itu-itu saja. Jika mau digali lebih dalam, banyak hal yang tak masuk akal di plotnya. Eksposisi yang lemah, kecuali sosok Jeff, menjadikan banyak pertanyaan yang tak bisa dijawab. Anggap saja para relawan dibayar dengan sangat besar pun, tapi resiko nyawa apa membuatnya sepadan? Tak ada penjelasan jaminan apa pun dalam proses uji coba ini, layaknya mereka semua seperti binatang percobaan lab. Asisten Steve tahu ini sejak awal, bagaimana ia bisa bertahan selama itu jika akhirnya semua berujung pada dilema moral? Aneh.

Dengan setting dan kasting yang luar biasa, Spiderhead tetap tidak mampu mengangkat plotnya yang mudah diprediksi dan dangkal. Tidak akan ada obat apapun di muka bumi ini yang mampu mengalahkan insting naluri manusia yang memang rapuh sejak dari sananya. Ini namanya manusiawi, dan hanya pikiran kita saja yang mampu mengontrolnya. Saya tertawa kecil, ketika voice over sosok Jeff menjelaskan semuanya di akhir film dengan sangat gamblang. Satu hal yang mestinya tidak perlu dilakukan. Rilisan Netflix belakangan banyak menghadirkan film-film yang berkualitas buruk, ini bisa menjadi bumerang buat mereka yang sudah kehilangan banyak pelanggan.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
40 %
Artikel SebelumnyaDying to Divorce (Europe on Screen 2022)
Artikel BerikutnyaShadow Game – Europe on Screen 2022
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.