Spider-Man 3 (2007)
139 min|Action, Adventure, Sci-Fi|04 May 2007
6.3Rating: 6.3 / 10 from 633,975 usersMetascore: 59
A strange black entity from another world bonds with Peter Parker and causes inner turmoil as he contends with new villains, temptations, and revenge.

Sekuel superhero populer berbujet ratusan juta dollar super laris, Spiderman 3 arahan Sam Raimi akhirnya dirilis juga. Film pertama, Spider-Man adalah film istimewa sementara sekuelnya, Spider-Man 2 bahkan lebih baik dari sisi cerita maupun artistik. Penulis tidak pernah berpikir jika sekuel berikutnya akan bisa lebih baik dari kedua film ini dan ternyata dugaan penulis tidak salah.

Spiderman 3 diawali dengan Peter yang saat ini hidup bahagia bersama Mary Jane. Cerita berkembang ketika Peter lebih menikmati dirinya sebagai Spider-Man ketimbang dirinya sendiri. Karir pertunjukan Mary Jane yang hancur hanya karena sebuah review negatif makin memperburuk hubungannya dengan Peter. Terlebih setelah Peter melakukan “ciuman pertamanya” dengan seorang gadis rekan satu lab-nya dihadapan orang banyak termasuk Mary Jane. Bagaimana mungkin semua ini bisa terjadi setelah semua peristiwa yang terjadi di dua film sebelumnya. Peter seolah lupa ucapan pamannya, “Great power comes great responsibility!”. Apa cairan hitam berasal dari angkasa luar penyebabnya? Ternyata bukan. Cairan tersebut dijelaskan hanya baru berefek negatif setelah menyatu dengan tubuh induk semangnya. Semuanya jadi serba lucu dan kebetulan. Konflik dan segala peristiwa yang ada seperti terkesan terlalu dibuat-buat tanpa ada sedikit pun penjelasan.

Hubungan Peter dan Mary Jane juga tidak lagi sekuat di dua film pendahulu. Peter dan Mary Jane seperti kehilangan diri mereka. Bahkan karakter Harry yang dendam habis dengan Spiderman sampai benar-benar dibuat amnesia. Entah mengapa hubungan kimiawi antara Harry-Mary Jane yang berdansa twist terasa lebih kuat dari hubungan Peter-Mary Jane. Satu lagi adegan yang benar-benar konyol dan tidak lucu adalah ketika Peter berubah menjadi lebih modis (rambut dibiarkan ke depan) dan digilai banyak wanita hingga berdisko bersama pasangan barunya dihadapan Mary Jane. Tapi ok lah… kali ini Peter memang “kebetulan” memakai kostum “hitam”. Tapi semua itu untuk apa? Peter sudah tidak lagi memiliki masalah dengan dirinya.

Baca Juga  Sinema Neorealisme Italia

Karakter Sandman lebih sekedar tempelan ketimbang ikut larut dalam cerita. Menghubungkan karakter Flint Marko (Sandman) dengan terbunuhnya kakek Peter sungguh ide konyol seperti penulis naskah tidak ada ide lain saja. Hal ini malah justru mementahkan cerita dua film sebelumnya yang telah dibangun demikian kuat. Siapapun tahu jika amnesia Harry kelak akan pulih di saat yang “tepat”. Karakter Bernard, pelayan Harry juga mendadak muncul di film dan seolah mengetahui segala persoalan tentang Harry, ayahnya dan Peter. Entah bagaimana ia bisa menyimpulkan luka tusukan di tubuh ayah Harry. Dan seperti sudah diduga… karakter Goblin Jr. muncul disaat kritis menolong sahabatnya… penonton pun bersorak riuh. Sungguh konyol! Amat disayangkan karakter Venom yang penuh pesona tidak muncul sejak awal dan harus menunggu hingga Peter mampu melepaskan “sifat buruk“ yang ada di tubuhnya.

Bicara soal adegan aksi boleh jadi memang lebih gemerlap dan lebih “seru” dari dua film pendahulunya terutama karena adanya dua karakter musuh. Namun satu hal yang hilang tidak seperti pada dua film pendahulunya adalah unsur ketegangan. Mary Jane yang di dua film sebelumnya menjerit-jerit dan jatuh dari ketinggian kali ini melakukan hal yang sama. Siapapun tahu Mary Jane akan selamat. Sedemikian nyarisnya seorang karakter mendekati kematian tetap saja adegan tersebut tidak berarti apa-apa. Dan seperti telah diduga pula Goblin Jr. (Harry) akhirnya mati menyelamatkan nyawa sahabatnya. Tak ada kejutan maupun ketegangan sama sekali apapun bentuknya. Terlalu jauh jika membandingkan film ini dengan dua film pendahulunya namun menurut penulis bukanlah hal sulit bagi film ini untuk meraih keuntungan seperti dua film sebelumnya.

Artikel SebelumnyaWaktu di Persimpangan
Artikel BerikutnyaBerbagi Suami, Poligami yang Kabur
His hobby has been watching films since childhood, and he studied film theory and history autodidactically after graduating from architectural studies. He started writing articles and reviewing films in 2006. Due to his experience, the author was drawn to become a teaching staff at the private Television and Film Academy in Yogyakarta, where he taught Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory from 2003 to 2019. His debut film book, "Understanding Film," was published in 2008, which divides film art into narrative and cinematic elements. The second edition of the book, "Understanding Film," was published in 2018. This book has become a favorite reference for film and communication academics throughout Indonesia. He was also involved in writing the Montase Film Bulletin Compilation Book Vol. 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Additionally, he authored the "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). Until now, he continues to write reviews of the latest films at montasefilm.com and is actively involved in all film productions at the Montase Film Community. His short films have received high appreciation at many festivals, both local and international. Recently, his writing was included in the shortlist (top 15) of Best Film Criticism at the 2022 Indonesian Film Festival. From 2022 until now, he has also been a practitioner-lecturer for the Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts in the Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.