Setelah gagal dengan seri Acolyte, Lucasfilm bersama Disney terus mencoba mengeksplorasi semesta cerita Star Wars, kini dengan tema petualangan anak, melalui Star Wars: Skeleton Crew. Uniknya, satu kreator dari seri ini adalah John Watts yang kita kenal menggarap trilogi Spider-Man (Marvel Cinematic Universe). Film ini diperankan beberapa bintang pendatang cilik, antara lain Ravi Cabot-Conyers, Ryan Kiera Armstrong, Kyriana Kratter, Robert Timothy Smith, serta aktor kawakan, Jude Law. Lantas, mampukah Skeleton Crew memiliki level seperti seri berkelas Star Wars lainnya?

Berkisah 5 tahun setelah peristiwa dalam Star Wars Episode 6: Return of the Jedi dengan timeline yang kurang lebih sama dengan seri The Mandalorian. Alkisah Wim (Cabot-Conyers), Fern (Kiera), KB (Kratter), dan Neel (Smith) adalah pelajar sekolah dasar di sebuah planet yang aman dan damai. Suatu ketika, Wim menemukan sebuah gua misterius di hutan pinggir kota. Bersama sobatnya, Neel, dan dua rekan sekolahnya, Fern dan KB, mereka masuk ke dalamnya yang rupanya adalah sebuah pesawat angkasa. Tanpa sengaja, Wim menekan sebuah tombol dan pesawat pun mengangkasa hingga terlempar nun jauh dari planet mereka. Inti kisahnya adalah upaya mereka untuk kembali pulang dan bertemu dengan beragam sosok di sepanjang perjalanan, satu diantaranya adalah laki-laki misterius, Jod Na Nawood (Law). Mereka sama sekali tak menyadari bahwa planet asal mereka, sesungguhnya memiliki harta karun tak ternilai yang menjadi incaran para perompak di seluruh angkasa raya.

Siapa menyangka, seri Star Wars rupanya mampu memadukan kisahnya dengan film anak-anak ala 1980-an, sebut saja The Goonies, E.T., Stand By Me, hingga seri It. Ini tentu menyenangkan dan menyegarkan, melihat aksi bocah-bocah yang masih belia, polos, dan nir pengalaman di dunia luar ini, berhadapan dengan dunia “Star Wars” yang sudah kita kenal baik. Walau kita rasakan ada batasan-batasan tak tertulis, namun sebagian besar bekerja dengan baik. Sisi kelemahan terbesar seri ini jelas adalah “plot armor” terhadap karakter anak yang mengurangi sisi ancaman dan intensitas ketegangannya. Apa pun yang terjadi, tidak akan ada sesuatu yang buruk bakal menimpa mereka. Namun, ini tidak lantas mengurangi sisi enerjik, keceriaan, dan humor yang menghibur sepanjang serinya.

Baca Juga  Carry-On

Plotnya yang segar didukung oleh beragam latar cerita yang sebelumnya tidak pernah kita jumpai sebelumnya dalam dunia Star Wars, seperti Planet At Attin, Borgo, At Achrann, hingga Lanupa. Walau terdapat beberapa lokasi yang tentu memicu pertanyaan bagi para fansnya yang membuatnya terasa sedikit lepas dengan semesta sinematiknya. Ketika mereka mendarat di sebuah bulan untuk bertemu rekan Jod Na, bagaimana mereka bisa berjalan di sana tanpa memakai kostum apa pun? Bagaimana pula mereka menghirup udara sementara tidak terlihat adanya atmosfir di bulan tersebut? Lantas Planet At Attin sendiri, jika selama ini di semesta Star Wars mampu membuat teknologi pelindung sebesar dan secanggih itu (bagi saya lebih canggih dari Death Star), mereka tentunya bisa melakukannya untuk lokasi penting/rahasia lainnya, bukan? Ini terasa absurd dan sedikit penjelasan rasanya mampu menjawab rasa penasaran.

Seri Star Wars: Skeleton Crew adalah sebuah penyegaran melalui tokoh anak dengan semangat aksi film petualangan era 1980-an walah alur kisahnya terasa sedikit lepas dengan serinya. Walau fans Star Wars bakal memiliki kesenangannnya tersendiri, namun plotnya masih terhitung ramah dengan penonton yang asing dengan franchise besar ini. Walau bukan serinya yang terbaik (The Mandalorian dan Andor) namun Skeleton Crew membuktikan bahwa semesta sinematik Star Wars masih dimungkinkan untuk melakukan eksplorasi cerita dan genre yang lebih luas lagi dengan beragam pendekatan. Selanjutnya, horor mungkin?

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
70 %
Artikel SebelumnyaRamen Akaneko
Artikel BerikutnyaFlight Risk | REVIEW
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.