Star Wars: The Clone Wars (2008)
98 min|Animation, Action, Adventure|15 Aug 2008
5.9Rating: 5.9 / 10 from 74,805 usersMetascore: 35
As the Clone Wars sweep the galaxy, Anakin Skywalker and his new Padawan, Ahsoka Tano, embark on a mission to rescue the kidnapped son of Jabba the Hutt. The renegade Count Dooku, however, is determined to ensure that they fail.

Star Wars: The Clone Wars (2008) merupakan film animasi 3-D (CGI) yang dimaksudkan sebagai pembuka seri televisi yang mulai ditayangkan bulan Oktober lalu. Film berbujet hanya $8,5 juta ini diarahkan oleh Dave Filoni dan diproduseri oleh George Lucas sendiri. Uniknya, ini untuk kali pertama seri Star Wars dirilis oleh Warner Bros. dan tidak menggunakan komposer John William untuk ilustrasi musiknya.

Plot filmnya mengambil kisah antara dua film utamanya beberapa tahun sebelumnya yakni, Star Wars Episode II: Attack of the Clones dan Star Wars Episode III: Revenge of the Sith. Cerita film masih seputar konflik antara pihak Republik (Jedi) dengan pihak separatis yang dipimpin Count Dooku. Dikisahkan pihak separatis menculik putra Jabba the Hutt untuk mengadu domba antara pihak Republik dengan Jabba. Jabba menguasai wilayah dagang strategis yang jika dikuasai separatis akan membuka jalan kemenangan mereka. Obi Wan, Anakin, serta Ahsoka (murid Anakin) harus bekerja keras untuk merebut kembali putra Jabba serta mengembalikan kepercayaan terhadap pihak Republik.

Para fans sejatinya pasti menganggap aneh melihat film Star Wars dikemas secara animasi. Alur cerita sepertinya tidak bermasalah sekalipun plotnya terlalu sederhana (dan terlihat terlalu dicari-cari). Karakter-karakter utama seperti Anakin Skywalker, Obi Wan, Yoda, Amidala, Palpatine, hingga R2-D2 serta C-3PO masih muncul sekalipun beberapa dari mereka perannya terlalu minim. Beberapa tokoh baru yang unik juga muncul seperti Ahsoka Tano serta Asajj Ventress. Satu hal yang cukup menarik terdapat dalam sekuen pembuka filmnya. Teks berjalan sebagai penjelas cerita yang menjadi ciri film-film Star Wars tak lagi digunakan dan diganti secara kreatif oleh kilasan peristiwa demi peristiwa (sekuen montase) seperti layaknya flash news (TV) lengkap dengan narator.

Baca Juga  Catatan Laskar Pelangi

Bentuk animasi juga memungkinkan adegan pertempuran maupun pertarungan light saber menjadi lebih atraktif dari film-film sebelumnya, seperti sekuen pertempuran di awal film. Pencapaian animasinya sendiri secara umum mengecewakan dan masih tampak seperti separuh jadi (kasar). Untuk benda-benda mekanik, seperti pesawat, tank, droid, sepertinya tak menjadi masalah namun tidak demikian halnya untuk karakter-karakter hidup yang tampak sangat kaku layaknya pahatan kayu. Coba saja perhatikan janggut dan rambut Obi-Wan, serta karakter Jabba the Hutt yang tampak begitu kaku. Bentuk proporsi manusia pun terlihat aneh (seperti anime), sehingga wajah karakter Mace Windu lebih mirip seekor kera.

Namun beberapa aspek patut dipuji dalam usaha untuk menjaga kontinuitas estetik dengan film-film sebelumnya. Teknik wipes (pergantian shot dengan menggeser frame gambar) masih tampak dominan digunakan. Beberapa karakter juga diisi oleh pemain aslinya, seperti Count Dooku (Chistopher Lee), Mace Windu (Samuel Jackson), serta C-3PO (Anthony Daniels). Pertempuran pesawat serta pertarungan light saber dengan efek suara yang khas juga cukup mengobati kerinduan para fans Star Wars. Sementara komposer Kevin Kiner masih mempertahankan ilustrasi musik Star Wars walau dengan sentuhan berbeda. Sebagai kata penutup, secara umum film ini sangat mengecewakan dan rasanya lebih pantas dirilis untuk versi home video (VHS/DVD).

Artikel SebelumnyaPersepolis, Animasi Otobiografi Bernuansa Politis
Artikel BerikutnyaFilm Animasi Dari Masa ke Masa
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.