Film ini terinspirasi dari Cerpen berjudul Jimat Jero karya Eka Kurniawan yang juga menjadi penulis naskah film ini. Sang sutradara sendiri populer dengan garapan filmnya yang berjudul antara lain Dikejar Setan (2009), Pocong Minta Kawin (2011), dan Jenderal kancil The Movie (2012). Film ini bercerita tentang seorang laki-laki bernama Bejo (Erlandho Saputra) yang memiliki masa lalu yang penuh dengan hal-hal mistis. Sejak kecil ia tinggal bersama dengan neneknya. Cerita dimulai dengan pertemuan antara Bejo dan Rohman (Eko Supriyanto), temannya sejak kecil. Mereka membicarakan sang nenek yang kini tengah di rumah sakit namun dokter tak kunjung menemukan penyakit yang dideritanya lantaran setelah diperiksa semuanya normal. Bejo dan Rohman menyadari bahwa neneknya memiliki kekuatan/jimat di masa mudanya yang kini masih ada. Di luar masalah neneknya Bejo juga bergulat dengan pekerjaan serta tertarik dengan seorang perempuan bernama Raisya (Astri Kusumawardhani).

Konflik cerita dimulai dari persoalan neneknya yang akhirnya mengingatkan Bejo dengan masa kecilnya. Teknik flash back (kilas balik) seringkali dipakai sepanjang filmnya. Nampaknya sang sutradara ingin menunjukkan dua waktu berbeda yang dijalani Bejo, masa lalu dan masa kini yang saling terkait namun informasi yang disajikan terlihat terpotong-potong dan kurang bisa menjelaskan logika cerita serta kontinuitinya. Informasi konteks waktu dan tempat juga kabur sehingga penonton tak begitu paham tentang hubungan ruang dan waktu yang sedang terjadi di film tersebut. Plot filmnya sendiri juga kurang fokus.  Bejo yang ingin mencari jalan keluar untuk sang nenek, tak seimbang dengan plot persoalannya di kantor dan masalah pribadinya dengan Raisya. Klimaks cerita dan ending juga kurang begitu jelas pula, bagaimana nasib neneknya? Bagaimana akhir nasib Bejo?

Baca Juga  Terpana

Film ini berjalan dengan tempo  sangat lambat dan minim dialog. Adegan pembuka berupa dialog antara Bejo dan Rohman di tengah sawah yang cukup lama (long take) cukup memberikan informasi yang sedang dihadapi tokohnya. Namun entah apa motif cerita pembicaraan itu harus dilakukan di tengah-tengah sawah? Film ini didominasi penggunaan bahasa jawa dalam dialog-dialognya yang mampu memberikan nuansa lokal. Film ini juga penuh dengan simbol yang tervisualisasikan dalam tarian, tembang, wejangan berupa aksara jawa di tengah filmnya. Sepertinya sang sutradara ingin membuat cara bertutur filmnya seperti cara bertutur sastra, yang kompleks, multi tafsir, serta makna-makna dibaliknya. Banyak beberapa insert gambar yang bukan bagian dalam cerita (nondiegetic) digunakan namun maknanya kabur dan kurang jelas.

Secara teknis film ini terlihat sangat independen, settingnya mengambil di sebuah desa yang terpencil, sepi dan sunyi. Kesan mistis dan senyap cukup terbangun dari setting yang terbangun. Pengambilan gambar yang cukup statis beriringan dengan tempo filmnya yang cenderung lambat. Para pemain khususnya pemeran Bejo sudah cukup menggambarkan karakter yang dingin dan penuh misteri. Penari kondang Eko Supriyanto yang juga bermain dan menari menunjukkan koreografi yang membangun kisahnya. Musik tradisional jawa seperti lagu tembang macapat yang dinyanyikan cukup memberikan nuansa mistis. Film-film bernuansa simbol seperti ini sebenanya menjadi kekhasan dari sutradara kenamaan Garin Nugroho dalam film-filmnya seperti Opera Jawa (2006) dan Under The Tree (2011). Film Sunya nampaknya belum mampu untuk menandingi film-film karya tersebut.

WATCH TRAILER

https://www.youtube.com/watch?v=gxNp-ULNdvU

Artikel SebelumnyaInferno
Artikel BerikutnyaPinky Promise
Agustinus Dwi Nugroho lahir di Temanggung pada 27 Agustus 1990. Ia menempuh pendidikan Program Studi Film sejak tahun 2008 di sebuah akademi komunikasi di Yogyakarta. Di sinilah, ia mulai mengenal lebih dalam soal film, baik dari sisi kajian maupun produksi. Semasa kuliah aktif dalam produksi film pendek baik dokumenter maupun fiksi. Ia juga lulus dengan predikat cum laude serta menjadi lulusan terbaik. Ia mulai masuk Komunitas Film Montase pada tahun 2008, yang kala itu masih fokus pada bidang apresiasi film melalui Buletin Montase, yang saat ini telah berganti menjadi website montasefilm.com. Sejak saat itu, ia mulai aktif menulis ulasan dan artikel film hingga kini. Setelah lulus, ia melanjutkan program sarjana di Jurusan Ilmu Komunikasi di salah satu perguruan tinggi swasta di Jogja. Penelitian tugas akhirnya mengambil tema tentang Sinema Neorealisme dan membandingkan film produksi lokal yang bertema sejenis. Tahun 2017, Ia menyelesaikan studi magisternya di Program Pascasarjana Jurusan Pengkajian Seni di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dengan minat utama film. Penelitian tesisnya terkait dengan kajian narasi dan plot sebuah film. Saat ini, ia tercatat sebagai salah satu staf pengajar di Program Studi Film dan Televisi, ISI Yogyakarta mengampu mata kuliah teori, sejarah, serta kajian film. Ia juga aktif memberikan pelatihan, kuliah umum, seminar di beberapa kampus, serta menjadi pemakalah dalam konferensi Internasional. Biodata lengkap bisa dilihat dalam situs montase.org. Prestasi besar terakhirnya adalah menjadi nominator Festival Film Indonesia 2021 untuk kategori Kritikus Film Terbaik melalui artikel "Asih, Cermin Horor Indonesia Kontemporer" bersama rekan penulisnya, Miftachul Arifin.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.