Sunyi merupakan film horor besutan sutradara spesialis horor, Awi Suryadi yang kita kenal dengan Danur: I Can See Ghost (2017), Danur: Maddah (2018), dan Asih (2018). Film ini sendiri merupakan remake dari film horor laris produksi Korea Selatan, Whispering Corridors (1998). Tak tanggung-tanggung, Pichouse Films sebagai studio produksi lokal, juga bekerja sama dengan studio luar, seperti, Xing Xing, Studio Invictus, Mixx Entertainment, dan CJ Entertainment. Ada hal menarik sebelum film ini diputar. Pichouse Films merilis cuplikan adegan berupa teaser Danur 3 yang terlihat mencekam, dan sepertinya akan lebih seram dari seri sebelumnya tapi ini tentu bukan topik bahasan kita.

Sunyi yang berlatar masa 2000-an ini berkisah tentang keseharian di SMA Abdi Bangsa yang merupakan sekolah terbaik di Indonesia. Dikisahkan, Alex (Angga Yunanda) adalah siswa baru di sekolah tersebut yang dikenal dengan kedisiplinannya. Di sana juga terdapat tradisi yang mengharuskan siswa baru harus selalu tunduk pada kakak kelasnya sebagai senior. Tak jarang, aksi bullying pun juga terjadi. Alex menjalani hari-harinya dengan berat hati, namun pertemuannya dengan Maggie (Amanda Rawles) membuatnya lebih bersemangat. Suatu ketika, senior mereka memaksa Alex untuk melakukan ritual pemanggilan arwah di sekolah yang berujung pada sebuah kejadian mengerikan.

Kisah hantu seram di sekolah bukan lagi barang baru pada perfilman kita. Baru-baru ini, Sajen (2018) yang juga diperankan oleh Angga Yunanda, memiliki kisah nyaris sama, yakni sebuah sekolah yang menyimpan misteri dan juga aksi bullying. Bedanya, Sunyi adalah film remake. Di awali dengan latar kejadian mengerikan 10 tahun lalu yang menewaskan 3 orang siswa, alur plotnya berjalan dengan lambat, namun dibangun dengan rapi untuk membangun intensitas ketegangannya. Walau seperti biasa, kejanggalan plot masih ada di sana-sini.

Satu hal yang menarik, semua adegan hanya ber-setting di area sekolah. Sang sineas, mau tak mau harus mengeksplor ruang demi ruang untuk membangun ceritanya dan Ini yang menjadi salah satu kekuatan filmnya. Variasi ruang yang dieksplor, seperti lapangan basket, gudang, serta kolam renang memberikan banyak pilihan. Sang sineas pun cukup terampil bermain dengan aspek sinematografinya melalui sudut-sudut pengambilan yang unik, dan ini juga menjadi poin lebih filmnya. Walau trik horornya sudah terlalu umum, namun satu adegan horor menarik disajikan di area kolam renang yang terlihat begitu mencekam ketika malam hari.

Baca Juga  Argantara

Dengan setting macam ini, sebenarnya memiliki modal bagus untuk mengembangkan kisahnya. Sayangnya, lagi-lagi naskahnya masih terasa tanggung. Alur utama plot filmnya boleh jadi memang fokus pada kejadian mengerikan 10 tahun lalu, namun banyak terpecah oleh aksi-aksi Alex yang di-bully oleh tiga kakak kelasnya, serta persahabatannya dengan Maggie. Chemistry dengan Maggie pun terasa kurang menggigit sehingga tidak memberi kesan berarti.

Satu hal lagi yang sangat mengganjal adalah tone suasana filmnya yang tampak sunyi, seperti judul filmnya. Sekolah yang begitu megah dan sangat besar, namun terlihat sepi tak berpenghuni. Film ini jarang sekali memperlihatkan adegan yang menunjukkan aktivitas dan keramaian sebuah sekolah dan bahkan tak ada sama sekali adegan belajar mengajar di kelas. Bahkan saya juga bertanya-tanya, apakah gurunya hanya ada dua orang saja? Karena yang muncul sepanjang film hanyalah kepala sekolah dan seorang guru olah raga. Beberapa adegan dan aktivitas di sekolah pun terlihat “berulang”, sehingga tak bisa kita rasakan perpindahan momen. Contohlah, ketika terdapat siswa yang tewas, anehnya, suasana sekolah pun tak berubah lebih mencekam. Terlepas dari banyak kelemahan filmnya, kita patut mengapresiasi sang sineas yang berani untuk me-remake film luar, seperti Koera Selatan. Siapa tahu, hal ini akan jadi tren ke depan?

WATCH TRAILER

PENILAIAN KAMI
Overall
60 %
Artikel SebelumnyaAve Maryam
Artikel BerikutnyaThe Curse of the Weeping Woman
Agustinus Dwi Nugroho lahir di Temanggung pada 27 Agustus 1990. Ia menempuh pendidikan Program Studi Film sejak tahun 2008 di sebuah akademi komunikasi di Yogyakarta. Di sinilah, ia mulai mengenal lebih dalam soal film, baik dari sisi kajian maupun produksi. Semasa kuliah aktif dalam produksi film pendek baik dokumenter maupun fiksi. Ia juga lulus dengan predikat cum laude serta menjadi lulusan terbaik. Ia mulai masuk Komunitas Film Montase pada tahun 2008, yang kala itu masih fokus pada bidang apresiasi film melalui Buletin Montase, yang saat ini telah berganti menjadi website montasefilm.com. Sejak saat itu, ia mulai aktif menulis ulasan dan artikel film hingga kini. Setelah lulus, ia melanjutkan program sarjana di Jurusan Ilmu Komunikasi di salah satu perguruan tinggi swasta di Jogja. Penelitian tugas akhirnya mengambil tema tentang Sinema Neorealisme dan membandingkan film produksi lokal yang bertema sejenis. Tahun 2017, Ia menyelesaikan studi magisternya di Program Pascasarjana Jurusan Pengkajian Seni di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dengan minat utama film. Penelitian tesisnya terkait dengan kajian narasi dan plot sebuah film. Saat ini, ia tercatat sebagai salah satu staf pengajar di Program Studi Film dan Televisi, ISI Yogyakarta mengampu mata kuliah teori, sejarah, serta kajian film. Ia juga aktif memberikan pelatihan, kuliah umum, seminar di beberapa kampus, serta menjadi pemakalah dalam konferensi Internasional. Biodata lengkap bisa dilihat dalam situs montase.org. Prestasi besar terakhirnya adalah menjadi nominator Festival Film Indonesia 2021 untuk kategori Kritikus Film Terbaik melalui artikel "Asih, Cermin Horor Indonesia Kontemporer" bersama rekan penulisnya, Miftachul Arifin.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses