Sosok Kartini dipuja sebagai tokoh yang memperjuangkan pendidikan di Indonesia dan setiap tanggal 21 April dinyatakan negara sebagai Hari Kartini. Namun kisah perjuangan Kartini bisa jadi tidak kita ketahui dengan baik dan melalui film drama romantis, Surat Cinta untuk Kartini sosok Kartini kembali dihadirkan untuk masyarakat bertepatan dengan momen peringatan Hari Kartini.

Kisah film ini disajikan secara kilas balik melalui penuturan kisah seorang guru di sebuah sekolah dasar. Dikisahkan Sarwadi (Chicco Jerikho) adalah seorang pengantar surat yang memiliki seorang anak perempuan, Ningrum, yang tinggal di Jepara. Suatu ketika ia mengantarkan surat ke rumah bupati dan terpukau melihat keanggunan Ndoro Ajeng Kartini (Rania Putri Sari) yang santun dan lembut. Hingga Wadi yang jatuh hati pada Kartini memaksa Ningrum untuk belajar padanya. Hari demi hari Wadi semakin dekat dengan Kartini mendukung usahanya untuk mengajarkan anak-anak perempuan yang pada jaman itu tidak diutamakan pendidikannya.

Kisah Sarwadi sendiri merupakan rekaan dan menempel pada kisah asli R.A. Kartini yang dituturkan melalui sosok sang pengantar surat tersebut. Sebuah sudut pandang yang cukup menarik memang namun plotnya seharusnya mampu menampilkan sosok Kartini dengan kuat sebagai tokoh perjuangan pendidikan yang patut kita kenang. Tidak banyak adegan maupun dialog yang membuat penonton dapat mengagumi sosok Kartini. Apakah perjuangan sosok pahlawan di negeri ini hanya seperti ini saja? Seolah tidak ada usaha yang keras dari Kartini untuk mengubah situasi. Sosok tiga gadis Belanda di awal cerita rasanya bisa menampilkan konflik cerita lebih menarik namun kita tidak pernah melihat mereka lagi.
Beberapa karakter-karakter lain tidak ditampilkan dengan porsi yang cukup sehingga terlihat sekedar karakter tempelan. Sebagai contoh, karakter Yu (ibu kandung dari Kartini) yang diperankan oleh Ayu Diah Pasha. Jika karakter ini ditampilkan lebih kuat dengan adegan dan dialog yang lebih baik, maka pesan dan kesan seorang ibu yang berpengaruh pada sosok putrinya akan menjadi lebih bermanfaat. Adik-adik Kartini juga hadir nyaris tanpa dialog sehingga seolah hanya ikut kesana kemari bak dayang-dayang menemani sang putri tanpa ada penokohan yang kuat. Justru karakter sahabat Wadi, Mujur, yang diperankan Ence Bagus memberi sentuhan komedi yang cukup menghidupkan filmnya namun karakter ini pun hanya terlihat di separuh awal.

Baca Juga  Ghibah

Rania Putri rasanya belum mampu memerankan seorang perempuan Jawa yang lembut namun tangguh. Justru Acha Septriasa yang hanya tampil sebagai cameo di akhir kisahnya bisa jadi mampu memerankan sosok Kartini dengan lebih baik. Penggunaan bahasa dan logat Jawa tidak mampu dilafalkan baik oleh para pemeran namun rasanya bukan masalah untuk kebanyakan penonton. Satu lagi yang menganggu adalah setting pantai selatan (pantai wisata Goa Cemara) yang berbukit juga tampak tidak sesuai dengan kondisi geologis pantai utara sehingga tampak tidak real untuk lokasi kisahnya.

Sebagai kesimpulan, sosok Kartini sebagai pahlawan nasional yang memperjuangkan hak perempuan Jawa tidak ditampilkan kuat dalam film ini. Usaha pembuat film untuk mengangkat kisah pahlawan perempuan ini patut kita hargai namun amat disayangkan karena seharusnya Surat Cinta untuk Kartini mampu menggambarkan sosok sang putri untuk bisa kembali diingat dan diteladani generasi muda masa kini.

WATCH TRAILER

Artikel SebelumnyaEye in The Sky
Artikel BerikutnyaCaptain America: Civil War
Menonton film sebagai sumber semangat dan hiburan. Mendalami ilmu sosial dan politik dan tertarik pada isu perempuan serta hak asasi manusia. Saat ini telah menyelesaikan studi magisternya dan menjadi akademisi ilmu komunikasi di salah satu perguruan tinggi di Yogyakarta.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.