surga di bawah langit

Jarang sekali ada sineas kita menggarap film musikal, terlebih dengan tokoh anak-anak. Bahkan dalam setahun pun belum tentu ada. Namun, kali ini berdasarkan ide cerita dari Rio Silaen, dibuatlah Surga di Bawah Langit. Rio pun berperan sebagai produser sekaligus salah satu pemain, serta turut andil dalam penulisan naskah bersama Rien Al Anshari dan Pritagita Arianegara –yang juga mengarahkan film ini. Sudah terlihat arah cerita filmnya bakal menyesuaikan kehendak siapa? Para pemeran film ini yaitu  Muzakki Ramdhan, Anodya Shula Neona, Keira Vanaya, Reza Rahadian, Acha Septriasa, dan Andien Aisyah.

Agus (Muzakki), Ayu (Anodya), dan Laras (Keira) adalah tiga sekawan yang tinggal di perkampungan kumuh di sekitar tempat pembuangan sampah akhir. Meski dengan kehidupan yang terkesan serba berkekurangan, tetapi mereka punya mimpi dan asa mereka sendiri. Hari-hari mereka jalani dengan bahagia. Walau masing-masing punya masalah mereka juga. Ayu dan ibunya, Laras dan kelas paduan suaranya, serta Agus dan pekerjaannya. Sampai suatu hari mereka harus berpisah, tanpa tahu kapan bisa berjumpa kembali.

Drama musikal, drama perjalanan anak-anak, atau gabungan dari keduanya termasuk yang jarang muncul di antara sekian banyak film Indonesia selama ini. Sejak Petualangan Sherina rilis (2000) dan mengawali era 2000-an pun baru ada segelintir film yang mengikutinya, seperti Kulari ke Pantai (2018), Koki-Koki Cilik (2018), Buku Harianku (2020), atau Keluarga Cemara 2 (2022). Beberapa memiliki perbedaannya sendiri sesuai masanya. Begitu pula Surga di Bawah Langit yang sangat kentara menyoroti kehidupan anak-anak di lingkungan sekitar tempat pembuangan sampah akhir.

Naskah Surga di Bawah Langit digarap berdasarkan ide cerita dari salah satu penulisnya. Walhasil, beberapa segmen dalam ceritanya cenderung didominasi oleh profesinya sebagai musisi. Sampai-sampai film ini ditutup dengan menampilkan konser paduan suara di bawah naungannya. Penutup yang seharusnya tidak perlu ada, karena tidak berkaitan sama sekali dengan cerita. Padahal Surga di Bawah Langit sudah cukup baik bila diakhiri setelah set terakhir di tempat pembuangan akhir. Mengapa harus ada penampilan paduan suara yang tak ada kaitannya? Dua kali pula!

Tendensi untuk mengarahkan salah satu tokoh agar tertarik ikut paduan suara juga tanpa para penulis sadari memengaruhi logika cerita. Kita tahu pekerjaan Laras adalah menyewakan payung, tetapi tidak ada informasi di mana ia letakkan payungnya. Tiba-tiba ia sudah membawanya, lalu beberapa saat kemudian ia tidak membawanya. Kemudian, siapa sebenarnya pemilik kotak yang selalu menemani Ayu setiap kali ia mengamen dengan tariannya? Bagaimana sebenarnya pekerjaan seorang kernet traktor yang dilakukan Agus? Porsi terbesar yang banyak mendapat sorotan dalam Surga di Bawah Langit sangat jelas, yakni kelompok paduan suara yang dibidangi sang pemilik ide, penulis naskah, sekaligus produser.

Baca Juga  Insidious: The Red Door

Kendati demikian, upaya Surga di Bawah Langit dalam menyajikan tayangan ramah anak-anak dengan musikal penyemangat hidup sudah baik. Terasa sekali cita-cita sang empunya ide untuk berbagi semangat bermimpi dalam setiap lagu di film ini. Meski ada satu eksekusi adegan musikal yang jadi kurang tepat, ketika setnya malah berubah dari aula tempat latihan biasa ke panggung dengan tata cahaya yang mapan. Hanya untuk menyampaikan nasihat tentang kedisiplinan. Padahal dieksekusi di tempat yang sama juga takkan jadi soal. Apa motivasi menggantinya ke set panggung?

Eksplorasi set di tempat pembuangan akhir sebetulnya menjadi salah satu sisi menarik dalam Surga di Bawah Langit. Hanya saja, ada satu keteledoran yang kurang diperhatikan pada artistiknya. Bagaimana mungkin sofa panjang, pohon, dan ban bekas yang biasa jadi tempat nongkrong Agus, Ayu, dan Laras tetap sama setelah mereka tinggalkan selama 16 tahun? Memang tidak mungkin mengakali keseluruhan tempat pembuangan akhir agar terlihat berbeda. Namun, minimal terhadap ketiga benda itu, sehingga menjadi masuk akal bahwa waktu telah berlalu 16 tahun bagi mereka bertiga sampai akhirnya bertemu kembali.

Surga di Bawah Langit memang sajian yang baik dengan spirit dalam setiap lagunya, tetapi penampilan sang penyokong dana terlalu mendominasi. Akibatnya, setidaknya ada dua bagian tak penting yang justru lebih baik ditiadakan. Khususnya penutup film ini. Bila meninjau rekam jejak dari masing-masing sineas pun, baru sang sutradara saja yang sudah cukup sering menggarap film. Itu pun belum ada yang benar-benar istimewa. Surga di Bawah Langit memang ringan, menghibur, dan baik untuk anak-anak, tetapi film drama musikal anak-anak bukan sekadar menampilkan lagu-lagu semata.

PENILAIAN KAMI
Overall
60 %
Artikel SebelumnyaThe Magician’s Elephant
Artikel BerikutnyaPara Pemenang akan Dapatkan Insentif Uang pada FFWI 2023
Miftachul Arifin lahir di Kediri pada 9 November 1996. Pernah aktif mengikuti organisasi tingkat institut, yaitu Lembaga Pers Mahasiswa Pressisi (2015-2021) di Institut Seni Indonesia Yogyakarta, juga turut andil menjadi salah satu penulis dan editor dalam media cetak Majalah Art Effect, Buletin Kontemporer, dan Zine K-Louder, serta media daring lpmpressisi.com. Pernah pula menjadi kontributor terpilih kategori cerpen lomba Sayembara Goresan Pena oleh Jendela Sastra Indonesia (2017), Juara Harapan 1 lomba Kepenulisan Cerita Pendek oleh Ikatan Penulis Mahasiswa Al Khoziny (2018), Penulis Terpilih lomba Cipta Puisi 2018 Tingkat Nasional oleh Sualla Media (2018), dan menjadi Juara Utama lomba Short Story And Photography Contest oleh Kamadhis UGM (2018). Memiliki buku novel bergenre fantasi dengan judul Mansheviora: Semesta Alterna􀆟f yang diterbitkan secara selfpublishing. Selain itu, juga menjadi salah seorang penulis top tier dalam situs web populer bertema umum serta teknologi, yakni selasar.com dan lockhartlondon.com, yang telah berjalan selama lebih-kurang satu tahun (2020-2021). Latar belakangnya dari bidang film dan minatnya dalam bidang kepenulisan, menjadi motivasi dan alasannya untuk bergabung dengan Komunitas Film Montase sejak tahun 2019. Semenjak menjadi bagian Komunitas Film Montase, telah aktif menulis hingga puluhan ulasan Film Indonesia dalam situs web montasefilm.com. Prestasi besar terakhirnya adalah menjadi nominator Festival Film Indonesia 2021 untuk kategori Kritikus Film Terbaik melalui artikel "Asih, Cermin Horor Indonesia Kontemporer" bersama rekan penulisnya, Agustinus Dwi Nugroho.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.