Genre : Drama
Duration : 102 menit
Release : 2 Juni 2016
Director : Hasto Broto
Production : Khanza Film
Actors : Syakir Daulay, Umi ‘Pipiek’ Dian Irawati, Agus Kuncoro

Pernyataan “Surga di telapak kaki ibu” membuat Dafa bertekad untuk menjaga ibunya siang-malam ketika beliau mulai sakit parah. Sang Umi yang menderita leukemia menarik Dafa kembali ke rumah saat ia senang menjalani hari-hari belajarnya di pesantren. Setiap santri memimpikan hafalan Al Quran yang lengkap dan Dafa sudah nyaris melengkapi hafalannya. Orangtua, guru, dan teman-temannya kagum serta bangga pada Dafa. Impian menjadi seorang hafizh Al Quran pun bukan lagi sesuatu yang mustahil. Dafa tetap meneruskan hafalannya walaupun semakin hari sang Umi bertambah lemah dan dirinya diolok-olok para tetangga.

Kisah-kisah inspiratif bisa memancing siapapun untuk datang, melihat, dan mendengarkan. Tetapi ada kalanya ketika diubah dalam medium film, akan menjadi sesuatu yang membosankan jikalau ia banyak ditaburi kisah-kisah kecil yang tidak ada kaitannya. Cerita utama Surga Menanti dibawakan oleh tokoh Dafa, ibu, dan ayahnya, sehingga kita terikat dengan kisah keluarga tersebut. Sayangnya, untuk menginspirasi penonton, sineas menyelipkan kisah tersendiri para tokoh pembantu yang sama sekali tidak ada hubungan penting dengan tokoh utama. Terlebih karena tokoh pembantu itu diisi oleh cameo-cameo. Sehingga tema penting film menjadi kabur. Apakah menceritakan perjuangan Dafa, apakah menceritakan bakti anak kepada ibunya, ataukah menceritakan iman para tokoh lainnya, sungguh membingungkan.

Di luar cerita, Surga Menanti memiliki pengaturan suara yang tidak nyaman kita dengar. Pada bagian berbicara biasa dan berteriak sama nyaringnya, pekikan atau lengkingan sangat mengganggu di telinga. Pengisian suara atau dubbing juga tidak bersih. Misalnya ketika tokoh ayah sedang berbicara dengan dokter di dalam ruangan kecil, yang terdengar adalah suara sang ayah lengkap dengan ambient berbeda dari sepantasnya di ruang dokter. Satu yang menarik adalah pembukaan film Surga Menanti menampilkan kesejukan perkebunan di Dieng Jawa Tengah yang tidak kalah indah dengan puncak Jawa Barat.

Baca Juga  13 Bom di Jakarta - JAFF 2023

Kembali problem cerita menjadi masalah seperti kebanyakan film-film kita. Film ini mungkin akan disajikan lebih baik jika fokus hanya pada satu kisah atau malah dikemas dalam bentuk omnibus (kompilasi pendek) sekalian. Kesimpulannya, film drama reliji Indonesia masih banyak perlu berbenah naratif dan teknis film sehingga dapat dinikmati lebih baik dan bisa menginspirasi penontonnya.

WATCH TRAILER

Artikel SebelumnyaFinding Dory versi Indonesia
Artikel BerikutnyaCentral Intelligence
Lahir dan besar di Kalimantan Barat, merupakan seorang aktivis demokrasi. Tahun 2015 hijrah ke Yogyakarta untuk menekuni ilmu film di sebuah perguruan tinggi swasta. Selain kuliah, menulis dan menggambar animasi menjadi rutinitas pilihannya.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.