Pertama melihat trailer Swing Kids, saya langsung tertarik untuk menonton film ini. Bukan karena siapa aktornya, atau karena rumornya ini film laris di Korea, namun karena perpaduan genre yang unik dan jarang sekali diproduksi, dance dan perang. Terlebih film ini berlatar cerita Perang Korea tahun 1950-an. Dengan disutradari oleh Kang Hyeong-cheol, film ini diproduksi oleh studio film Amerika, Annapurna Pictures. Annapura sendiri kita kenal sering memproduksi film yang biasa hilir mudik di sirkuit festival film, seperti Zero Dark Thirty (2012), The Master (2012), American Hustle (2013), The Grandmaster (2013), serta Phantom Thread (2017). Swing Kids dibintangi oleh salah satu personil grup idol kenamaan Korea, Do Kyung-soo EXO, serta Park Hye-su, Jared Grimes, Oh Jung-se, dan Kim Min-ho.
Alkisah di Geoje pada tahun 1951, terdapat camp milik AS berisi tahanan perang yang berasal dari Korea Utara, Korea Selatan, dan Tiongkok. Ro Ki-soo (Do Kyung-soo), seorang prajurit dari Korea Utara, jatuh cinta dengan tap dance setelah bertemu Jackson (Jared Grimes), seorang penari Broadway yang terpaksa menjadi tentara karena wajib milliter. Demi menjalankan misi dari sang komandan, Jackson mengumpulkan para penari, seperti Roh Ki-soo (Do Kyung-soo), Kang Byung-sam (Oh Jung-se) yang menari dengan harapan menemukan istrinya, Xiao Fang (Kim Min-Ho), seorang tentara Tiongkok yang suka menari agar berat badannya turun, dan Yang Pan-rae (Park Hye-su) yang ingin mendapatkan uang dari menari.
Film dibuka dengan penayangan video propaganda perang, yang cukup memberi penjelasan pada penonton akan latar belakang camp tersebut. Secara mengejutkan, separuh awal film sangat dominan unsur komedi, serta unsur dance dan perang yang terselip di antaranya. Film ini memakai dua bahasa bicara yang dominan, yaitu bahasa Inggris dan bahasa Korea. Kendala bahasa, secara cerdas mampu diolah menjadi humor yang berkualitas. Seolah mereka telah memahami satu sama lain. Satu segmen absurd misalnya, ketika Xiao Fang dan Kang Byung-sam berkomunikasi lewat “bahasa menari”, dari masing-masing camp mereka.
Memang sebuah pencapaian langka sebuah film yang menggabungkan genre dansa, drama politik, dan perang. Sang sineas patut diapresiasi karena mencoba bermain dalam dua ranah yang sangat berlawanan ini. Memang tak mudah menggabungkan dua topik ini ke dalam satu film utuh. Terbukti, pada separuh akhir durasi, tensi cerita menurun, akibat plotnya yang berubah drastis menjadi terlalu serius dan terfokus ke intrik politik sehingga membuat Swing Kids kehilangan temponya. Selebihnya, film ini memberi banyak kejutan tak bisa diantisipasi, terutama di penghujung kisahnya yang membuat shock.
Kostum, make-up, dan setting juga menjadi nilai plus di film ini. Meski ada beberapa momen yang masih terasa artifisial karena penggunaan efek visual. Selain itu, tiap tokohnya pun tampil maksimal, dari segi akting hingga kemampuan menari mereka. Tingkah laku konyol para pemerannya pun dijamin mampu mengocok isi perut, seperti Xiao Fang yang berwajah polos namun tingkahnya sangat menggemaskan. Segman yang paling menarik perhatian tentu saja tap dance, shot-nya terlihat berlama-lama demi memperlihatkan kelincahan kaki para pemainnya ketika menarikan tap dance dengan lantunan musik-musik jaz lawas.
Seperti lagu Free as a Bird yang dilantunkan grup musik legendaris The Beatles di ending credit, Swing Kids berbicara tentang perjuangan mendapatkan kebebasan di bawah bendera berbagai ideologi politik (Kapitalisme/Komunisme) yang menimbulkan perpecahan bahkan dalam satu kelompok sendiri. Namun, perbedaan tersebut bisa disatukan oleh sebuah tarian. Tak peduli berbagai asal suku dan ras serta budaya. Tak peduli ideologi apapun. Just dance.
WATCH TRAILER