Talk to Me adalah film horor supernatural produksi Australia arahan duo sineas Danny and Michael Philippou yang dikenal dengan konten live youtube horornya. Film ini dibintangi aktor-aktris lokal, yakni Sophie Wilde, Alexandra Jensen, Joe Bird, Otis Dhanji, hingga aktris senior Miranda Otto. Film berbujet USD 4,5 juta ini mengawali debutnya di sirkuit festival film tahun lalu dan rilis publik pada bulan Juli lalu di negara asalnya. Film ini banyak dipuji pengamat dan hingga kini telah meraup USD 55 juta pada rilis globalnya. Apa kunci keberhasilan film horor ini?

Di kalangan anak muda kini telah viral video yang menyajikan beberapa remaja yang kesurupan. Mia (Wilde) yang kehilangan ibunya akibat over dosis, kini tinggal di rumah sahabatnya, Jade (Jensen) bersama adik, Riley (Bird), dan ibunya (Otto). Suatu ketika, Mia, Jade, dan Riley pergi ke sebuah pesta yang menampilkan permainan supernatural yang kini tengah viral tersebut. Sebuah patung potongan tangan yang jika digenggam dan berkata, “talk to me”, maka sebuah arwah penasaran akan hadir di hadapan. Malam berikutnya pesta diadakan di rumah Jade ketika sang ibu pergi. Para muda-mudi ini begitu asyiknya bermain “talk to me” tanpa mereka menyadari konsekuensi bermain-main dengan dunia arwah dan para roh jahatnya.

Mirip permainan papan ouija dan pemanggilan roh arwah lainnya yang lazim kita lihat dalam film-film horor populer, “talk to me” memang terkesan “mudah”, seolah tanpa effort berarti untuk memanggil para arwah yang gentayangan. Terlepas ini mitos sungguhan atau tidak, selintas saya terpikir sambil tertawa geli, apa anak-anak muda ini tidak pernah menonton dan belajar dari film-film horor populer macam seri Insidious atau The Conjuring? Seperti sudah diduga, konsekuensi yang dijanjikan premisnya akhirnya muncul. Roh jahat pun mampir tanpa mereka sadari. Sebaliknya para penonton, setidaknya saya, hanya bisa menanti proses bagaimana akhirnya mereka jera dengan segala aksi edannya. Siapa sangka, prosesnya tidak buruk, bahkan boleh dibilang segar dalam beberapa aspeknya.

Baca Juga  Black Panther

Tidak seperti film horor AS yang membangun mood horor dengan setting dan atmosfir seram dengan segala gaya artistiknya, Talk to Me terkesan sederhana dan apa adanya. Kita tidak merasakan ancaman dan sisi keseraman pada setting, namun justru pada teror plotnya. Tone filmnya banyak mengingatkan pada film horor remaja AS, It Follows, di mana orang yang terkena kutukan akan terus dikejar entitas jahat ke mana pun mereka pergi. Pemainan alam nyata dan mimpi juga kerap digunakan walau ini tergolong trik usang, namun Talk to Me menyajikannya dengan baik dan kadang efeknya sangat mengejutkan. Jump scare pun dilakukan secara efektif tanpa banyak inovasi berarti. Satu catatan mengejutkan adalah sajian aksi-aksi brutalnya yang dijamin bakal membuat kita bergidik karena terlihat begitu nyata.

Talk to Me adalah sebuah horor supernatural simpel nan solid dengan pesan yang efektif. Sisi trauma yang menjadi subplotnya melalui sosok Mia bukanlah sesuatu hal yang baru bagi genrenya, namun ending-nya harus diakui memang memberi efek kejutan dan jera yang luar biasa. Puluhan bahkan mungkin ratusan film horor seringkali memberi kita petuah, “jangan permah bermain dengan sesuatu yang tidak kamu pahami”. Walau sisi subteksnya tidak sedalam It Follows, namun Talk to Me mampu mewakili generasi muda kini yang sering kali menggampangkan banyak hal dan mengindahkan tradisi/aturan tanpa mau menerima konsekuensi. Akibat sukses komersialnya, kabarnya, sekuel film ini tengah dalam pengembangan.

1
2
PENILAIAN KAMI
overall
75 %
Artikel SebelumnyaPast Lives
Artikel BerikutnyaThe Equalizer 3
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.