Silang sengkarut sistem penjurian tampak setia mewarnai perjalanan Festival Film Indonesia (FFI) sejak penyelenggaraanya yang paling awal. Pada ajang pertama tahun 1955, yang saat itu bernama Pekan Apresiasi Film Nasional, hasil penjurian terkesan bagi-bagi kue: sejumlah kategori memunculkan dua pemenang, selalu salah satunya dari Persari dan satu lagi dari Perfini.
Sebetulnya, itu masuk akal bila mengingat ajang ini digagas oleh Djamaludin Malik (pendiri Persari) dan Usmar Ismail (pemilik Perfini) sebagai penangkal sakit hati karena film produksi gabungan mereka, Lewat Djam Malam, waktu itu gagal didaftarkan ke Festival Film Asia. Sayangnya, kebiasaan membagi kue secara tidak merata—tampaknya juri lebih ingin bikin senang Djamaludin Malik selaku pemodal tunggal—menimbulkan sakit hati baru. Setelah penyelenggaraan kedua pada tahun 1960, Usmar Ismail, yang telah dua kali gagal memenangkan kategori incarannya, tidak mau lagi ikut serta.
Kesan bagi-bagi ini masih tampak pada penyelenggaraan ketiga, tahun 1967, saat pemerintah mengambil alih dan mengganti namanya menjadi Festival Film Indonesia.
Seterusnya, ketidakjelasan penjurian kerap mencoreng nama FFI. Sebutlah penetapan syarat serampangan yang membikin tidak ada film terbaik pada tahun 1977, serta pembubaran dewan juri karena menilai film yang tidak termasuk pilihan komite seleksi pada tahun 2010. Tentu, itu baru dua dari berbagai kontroversi lain.
FFI bukan tidak pernah berbenah diri. Perbaikan diupayakan dari tahun ke tahun. Perubahan pertama yang penting dicatat bertarikh 1974. Penilaian tidak lagi dengan cara memberi angka pada aspek-aspek film dan menjumlahkannya. Melainkan, Dewan Juri mencalonkan film yang dianggap layak meraih penghargaan dan mendiskusikannya.
Prosedur penjurian ini menghasilkan dua pemenang film terbaik, yakni Si Mamad karya Sumandjaja sebagai film terbaik “dengan pujian” dan Cinta Pertama karya Teguh Karya sebagai film terbaik “dengan penghargaan”. Keputusan ini mencuatkan ketidakpuasan karena Si Mamad hanya meraih dua Piala Citra, sementara Cinta Pertama yang dianggap runner up mengumpulkan empat. Ketidakpuasan serupa berulang pada 1985, ketika Senyum di Pagi Bulan Desember karya Wim Umboh menjadi film terbaik, padahal hanya memperoleh dua Piala Citra, sedang Ranjang Pengantin karya Teguh Karya memborong lima piala.
Pada tahun 1977, dewan juri menetapkan sejumlah persyaratan baru. Salah satunya, film terbaik harus memenangkan empat kategori lain terlebih dahulu, yakni penyutradaraan, penulisan skenario, penataan fotografi, dan penyutingan. Hasilnya, tidak ada pemenang film terbaik tahun itu. Karena hasil tersebut membikin geram banyak kalangan, pada tahun 1978, FFI pun menyusun buku putih alias pedoman penjurian yang terus diperbarui seiring waktu.
Pada tahun 1979, FFI mulai menggunakan sistem nominasi yang setiap kategorinya berisi lima calon pemenang. Lalu pada tahun 1982, demi mengurangi beban juri yang mesti menonton dan menilai seluruh film, diterapkan penjurian dua tahap. Pertama, film yang terdaftar diseleksi oleh Komite Pengaju Unggulan (KPU). Kedua, film yang terseleksi disaring lagi oleh dewan juri untuk menentukan daftar nominasi dan pemenang. Metode seleksi serupa sempat dilakukan sebelumnya, pada tahun 1976 oleh Dewan Penilai Awal yang terdiri dari 14 wartawan film, namun tidak berlanjut. Pada tahun 1983, KPU berubah nama menjadi Komite Seleksi dan terus beroperasi hingga tahun 2013.
Dalam perjalanannya, Komite Seleksi kerap dikritik tidak meloloskan film-film yang dianggap layak masuk nominasi. Perannya dalam menilai film secara keseluruhan pun dianggap tidak fokus dan tumpang tindih dengan dewan juri. Karena itu pada FFI tahun 2011, Komite Seleksi sempat diubah menjadi Komite Nominasi. Tujuannya agar komite beranggotakan 21 pekerja film itu fokus menilai unsur-unsur teknis dalam setiap film. Merekalah yang menentukan nominasi, dewan juri tinggal memilih pemenang. Namun, Komite Nominasi hanya beroperasi satu kali. Sebab pada tahun 2012 dan tahun 2013, sistem penjurian kembali seperti sebelumnya: menggunakan Komite Seleksi.
Mulai tahun 2014, FFI melibatkan 100 juri melalui sistem voting. Masing-masing juri melakukan pemilihan tanpa diskusi. Mereka menonton lewat DVD. Namun, untuk film yang dinilai berdasarkan gambar dan suara, panitia memfasilitasi bioskop untuk menonton (entah bagaimana menentukan film-film yang mesti dinilai di bioskop ini). Pada tahun 2016, jumlah juri diperbanyak menjadi 200. Alasannya untuk menghindari kecurangan karena semakin banyak juri dianggap semakin sulit juri dipengaruhi.
Dewan juri tersebut terdiri dari para pekerja asosiasi profesi dalam bidang perfilman, yakni Asosiasi Produser Indonesia (Aprofi), Persatuan Perusahaan Film Indonesia (PPFI), Asosiasi Perusahaan Film Indonesia (APFI), Asosiasi Casting Indonesia (ACI), Indonesian Film Directors Club (IFDC), Indonesian Motion Picture Audio Association (IMPACT), Rumah Aktor Indonesia (RAI), Indonesian Film Editors (INAFEd), Sinematografer Indonesia (SI), Indonesian Production Designers (IPD), dan Penulis Indonesia untuk Layar Lebar (PILAR). Kritikus/pengamat, wartawan, akademisi/pengajar film, budayawan, bintang film yang pernah mendapat Piala Citra atau minimal pernah bermain dalam lima film sebagai pemeran utama, hingga pemegang FFI Lifetime Member pun turut terangkut jadi juri.
Ke-200 juri tersebut menilai semua film yang masuk, termasuk film pendek dan dokumenter. Sebelumnya, film-film kategori nonbioskop hanya dinilai oleh segelintir orang yang jumlahnya tidak melebihi hitungan jari, sangat jomplang dengan film kategori bioskop yang jurinya nyaris seratus.
Prosedur ini bukan hanya menambah beban anggaran, tapi juga beban tugas juri. Risikonya, penilaian terhadap estetika film tidak maksimal. Latar belakang para juri yang beragam belum tentu berangkat dari standar yang sama dalam menilai kategori spesifik, seperti misalnya pengarah artistik atau penata musik. Sedang di sisi lain, film panjang, film pendek, dan film dokumenter punya estetikanya masing-masing yang tak selalu bisa disamakan.
Sistematika Penjurian FFI 2019
Sejak tahun 2018, film yang dinilai tak harus mendaftarkan diri seperti pada tiap penyelenggaraan sebelumnya. Untuk itu, pada tahun 2019 ini, Lukman Sardi selaku ketua komite FFI membentuk tim seleksi berisikan kurator dari berbagai profesi, yakni akademisi, jurnalis, hingga pekerja film. Tugas mereka menyeleksi seluruh film yang lulus sensor dan sudah ditayangkan di bioskop-bioskop Indonesia untuk dikerucutkan menjadi daftar pendek berisi 30-50 judul. Daftar itu nantinya akan terbagi dalam empat kategori, yaitu film cerita panjang, film cerita pendek, dokumenter, dan animasi.
Film cerita panjang yang berhak mengikuti seleksi FFI ke-39 adalah film yang sudah tayang pada rentang 1 Oktober 2018 hingga 30 September 2019 di bioskop berbayar, baik pemutaran umum maupun khusus. Termasuk dalam tim penyeleksi film cerita panjang adalah Lisabona Rahman, Hera Diani, Makbul Mubarak, Rangga Wisesa, Tam Notosusanto, Prima Rusdi, dan Nungki Kusumastuti. Nominasi final dilakukan oleh perwakilan Asosiasi Profesi Perfilman Indonesia.
Terkhusus film pendek, dokumenter, dan animasi, ada tim seleksi awal. Untuk memungkinkan terjaringnya lebih banyak film dari tiga kategori tersebut, FFI menjalin kerja sama dengan institusi atau organisasi festival di aras lokal.
Di bagian film cerita pendek ada di Fransiska Prihadi (Minikino Film Week), Yustinus Kristianto (Jogja-NETPAC Asian Film Festival), dan Lulu Ratna (Boemboe Forum). Teruntuk film dokumenter, ada Alia Damaihati (Festival Film Dokumenter), Amelia Hapsari (In-Docs), dan Dimas Erdinta Pratama Putra (Solo Documentary). Sedang untuk kategori film animasi, yakni Wahyu Aditya (HelloFest) dan Christian Aditya (UCIFEST). Merekalah yang bertugas menyusun daftar pendek untuk masing-masing kategori.
Membentuk tim seleksi yang mengerucutkan banyak judul menjadi daftar pendek, barangkali memang menghemat waktu dan mengurangi beban kerja dewan juri. Metode ini mungkin tampak efisien untuk menyeleksi film cerita panjang tapi belum tentu untuk film nonbioskop seperti film cerita pendek, dokumenter, atau animasi.
Perlu diingat, FFI tidak membuka pendaftaran film sejak tahun 2018. Film cerita panjang yang dinilai FFI 2019 adalah setiap film yang tayang pada rentang 1 Oktober 2018 hingga 30 September 2019 di bioskop berbayar, baik pemutaran umum maupun khusus. Maka, walau tidak mendaftar, selama memenuhi syarat itu, sebuah film cerita panjang akan dipertimbangkan oleh tim seleksi tahun ini.
Namun, persyaratan sejelas itu tampaknya tidak diberlakukan pada kategori film pendek, dokumenter, dan animasi yang tidak tayang di bioskop. Nyaris tidak ada penjelasan, sebuah film pendek atau animasi harus dalam kondisi seperti apa untuk dipertimbangkan oleh tim seleksi.
Pembuat film nonbioskop yang ingin ikut berlaga di FFI 2019 tak bisa berbuat apa pun. Berharap pun sulit karena tak tahu apakah judul filmnya bahkan pernah dibaca oleh tim seleksi. Film-film terpilih dari kategori ini juga tidak terjelaskan asalnya dari mana sehingga bisa dilirik juri. Apakah sebuah film pendek mesti pernah tayang di JAFF? Ataukah cukup dengan pernah tayang di luar negeri? Sebagaimana Tak Ada yang Gila di Kota Ini lebih dulu diputar di Busan dan belum sempat tayang di JAFF 2019 ketika masuk nominasi. Penjelasan terkait ini tak ada saat nominasi diumumkan.
Oleh sebab itu, sebaiknya memang FFI membuka pendaftaran, terutama untuk film nonbioskop. Sehingga, para pembuat film yang memang ingin ikut bisa mengirimkan karyanya. Setidaknya, mereka tahu filmnya terdaftar dan akan dipertimbangkan oleh tim seleksi.
Pertanggungjawaban sebagai Produksi Pengetahuan
FFI kerap menggembor-gemborkan keinginannya meningkatkan kualitas perfilman Indonesia. Berbagai cara dilakukan, seperti tahun ini dengan menambahkan poin penilaian. Nia Dinata, sebagai Ketua Komite Penjurian FFI 2019 menyebut adanya poin kepekaan terhadap Bhineka Tunggal Ika disamping estetika, kualitas teknik, orisinalitas yang sudah menjadi bahan penilaian di tahun-tahun sebelumnya. Jadi, selain kejernihan gagasan dan tema, kualitas dan estetika film, profesionalisme kerja serta orisinalitas, panitia seleksi juga fokus memberikan penilaian terhadap film yang mewakili keberagaman, meskipun ada pro dan kontra.
Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana publik bisa memahami apa yang dimaksud juri sebagai kejernihan gagasan, atau film yang estetik, atau mewakili keberagaman? Selama ini, FFI masih sekadar menyodorkan judul film yang menang sebagai referensi bagi publik untuk mengenali seperti apa yang bagus menurut FFI. Tapi tidak ada argumen lebih lanjut yang sampai ke publik tentang kenapa sebuah film dianggap bagus. Apa yang bagus hanya hadir lewat cara mendikte, tak berlanjut sampai argumentasi.
Sayembara Sastra Dewan Kesenian Jakarta adalah contoh bagaimana pertanggungjawaban juri menjadi pengetahuan yang memperkaya wawasan publik. Juri menjelaskan naskah-naskah macam apa saja yang masuk, kecenderungan macam apa yang muncul pada karya-karya tahun itu, kelemahan apa saja yang kerap muncul pada kebanyakan karya, hingga alasan mengapa karya-karya terpilih dianggap memenuhi kriteria. Pertanggungjawaban semacam itu tentunya turut menjadi masukan bagi para penulis, baik yang ikut maupun tidak, untuk membuat karya yang lebih baik.
FFI, terutama dengan modal besar yang bisa memperkerjakan ratusan juri, punya potensi untuk memproduksi pengetahuan semacam itu. Sistem voting mungkin adalah alasan pertanggungjawaban semacam itu sulit dibuat. Namun, tim seleksi yang membuat daftar pendek, tentu memilih dengan pertimbangan yang bukan semata angka. Karena itu, sebenarnya mereka bisa menyusun catatan yang setidaknya memuat kecenderungan film-film dalam setahun, serta pertimbangan memilih judul-judul yang masuk daftar pendek. Lebih baik lagi jika bisa menjelaskan hal macam apa yang diharapkan FFI ada pada sebuah film, tapi tidak tercapai oleh judul-judul yang lolos. Catatan itu bisa menjadi kajian sekaligus kritik terhadap industri film selama setahun penuh.
Pertanggungjawaban seperti itu mungkin diperlukan untuk besama sejumlah elemen lain demi meningkatkatkan perfilman Indonesia. FFI mestinya juga bisa menggarap itu.
Ageng Indra
Mahasiswa Magang