teluh darah

WARNING: SPOILER ALERT (DIWAJIBKAN UNTUK MENONTON SERINYA SECARA UTUH)

Film horor Indonesia yang mengeksplorasi tema ilmu hitam, guna-guna, santet, pesugihan, dan lainnya terhitung tidak banyak diproduksi. Seri Teluh Darah mencoba peruntungannya melalui sang sineas kawakan Kimo Stamboel, yang kita tahu telah memproduksi beberapa film horor laris, seperti DredOut, Jelangkung: Sandekala, Ivanna, serta kini masih panas di layar bioskop, Sewu Dino. Teluh Darah dibintangi oleh nama-nama tenar, seperti Mikha Tambayong, Lukman Sardi, Deva Mahenra, Imelda Therinne, Ence Bagus, Shenina Cinnamon, dan Kiki Narendra. Serial bertotal 10 episode ini dirilis platform Disney Plus dengan rating 17+ (dewasa) sejak 25 Februari 2023 lalu.

Ahmad Kusumawijaya (Sardi) adalah seorang pengusaha besar yang memiliki istri bernama Astuti (Therinne) serta dua anaknya, Wulan (Tambayong) dan adiknya Wisnu (Adiwinata). Keharmonisan keluarga Ahmad mulai terganggu oleh kejadian-kejadian aneh di rumah mereka. Sebuah bangkai musang ditemukan di langit-langit rumah dan belatung pun bermunculan di mana-mana. Puncaknya ketika Ahmad merasa sakit di bagian perutnya hingga ia memuntahkan paku. Wulan yang awalnya skeptis, kini mulai percaya dengan apa yang dilihat matanya sendiri. Sementara rekan lama Ahmad, Bondan (Bevers), tewas tidak wajar dan putranya, Esa (Mahenra) berusaha untuk menyelidiki apa yang sebenarnya terjadi. Semua kejadian ini rupanya terkait dengan masa lalu Ahmad dan Bondan dan seseorang yang memiliki dendam dengan mereka.

Whodunit?

Ringkasan plot di atas rasanya terlalu ringkas memaparkan detil kisahnya karena terlalu banyak subplot dan intrik di sana-sini yang tak mungkin dituliskan semua di sini. Wulan adalah sosok protagonis utama bersama Esa, di mana plotnya didominasi sisi investigasi mereka berdua untuk menguak dalang pelakunya. Segmen kilas balik sering kali digunakan pada tiap episodenya untuk memaparkan kejadian berpuluh tahun sebelumnya. Bagi yang sudah mengenal betul reputasi sang sineas, pasti memahami betul, aksi-aksi dalam seri ini akan bakal seperti apa. Brutal, namun kini bukan didominasi aksi jagal, namun aksi teluh.

Tak ada yang ragu dengan kemampuan Kimo Stamboel dalam mengolah adegan aksi brutalnya. Film-film yang disebut di atas tak pernah lepas dari aksi-aksi kelewat brutal dengan darah mengalir dan bermuncratan di mana-mana. Teluh Darah pun tak jauh beda. Adegan aksi mencungkil bola mata pada episode pembuka sudah menggambarkan seperti apa episode selanjutnya. Adegan aksi memenggal kepala yang menjadi trade mark-nya pun ada di sini, lengkap dengan luka-luka sayatan dan tikaman pisau di tubuh, serta pula aksi mengeluarkan kelabang di dalam tubuh yang disajikan begitu real. Untuk sisi teknis, tak ada lagi yang perlu dikomentari. Top markotop. Seperti kelaziman film-film horor kita, kutukan terbesar adalah pencapaian naskahnya (Agustinus Dwi Nugroho dan Miftachul Arifin, Asih 2: Cermin Film Horor Indonesia Kontemporer, 2021.).

Baca Juga  Orang Betawi di Film dan Persoalan Identitas yang Tak Kelar-kelar

Pertama kita tilik alur plotnya. Pada awal-awal episodenya, plot seri ini mampu menyajikan sisi misteri yang demikian mencekam melalui teror aksi teluhnya. Tak ada sosok seram seperti lazimnya film-film horor kita kebanyakan untuk menyajikan kengeriannya. Hanya melalui visualisasi belatung, tawon, hingga kelabang serta bagian tubuh para korbannya saja sudah cukup membuat kita bergidik. Ini tentu memancing kuat rasa penasaran kita, siapa pelakunya dan mengapa? Tipikal plot macam ini jelas bukan hal baru untuk genrenya, dan alur plot Teluh Darah mampu menggiring penonton dengan baik, satu demi satu ke potensi para pelakunya. Siapa pun adalah suspek.

Bagi penikmat seri Scream, pasti tak asing dengan tipikal plot macam ini yang populer dengan istilah whodunit (wikipedia). Sebuah aksi misteri di mana lazimnya terjadi sebuah pembunuhan dengan penekanan kisah pada siapa di antara para tokohnya yang menjadi pelaku? Si pelaku pasti tak jauh dari para protagonisnya. Semakin fokus kita teralihkan, semakin besar pula kemungkinan orang tersebut adalah pelaku utamanya. Formula yang digunakan Teluh Darah tak jauh berbeda, hanya sebaliknya, satu hal yang terlihat jelas adalah siapa yang bukan pelakunya. Ini lalu mengindikasikan ada sosok lain di balik ini semua yang belum muncul dalam plotnya. Berjalannya seri, sosok ini pun terungkap, dan tak sulit untuk menerkanya. Ditambah formula tipikal whodunit, komplit sudah para biang kerok pelakunya. Ini sebuah kejutan yang tak lagi mengejutkan. Kejutan pamungkas tentunya adalah relasi antara si biang santet dengan Wulan danĀ  Esa. Siapa pun pasti sulit mengantisipasi ini.

NEXT: TELUH DARAH, ADAPTASI RATU ILMU HITAM?

1
2
3
4
Artikel SebelumnyaYou Better Be Acting Like You’re in a Wes Anderson Film
Artikel BerikutnyaPalm Trees and Power Lines
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.