Tetris adalah permainan gim paling populer di dunia yang lahir sejak akhir dekade 1980-an. Tapi di balik kesuksesan ini terdapat kerumitan intrik birokrasi tentang hak paten dengan kepentingan banyak pihak yang melibatkan AS, Rusia, dan Jepang. Semuanya terangkum komplit dalam film biografi thriller berjudul permainan gimnya, Tetris. Film ini diarahkan oleh Jon S. Baird dengan dibintangi Taron Egerton, Nikita Efremov, Sofia Lebedeva, Anthony Boyle, dan Toby Jones. Film berdurasi 118 menit ini dirilis oleh Apple TV+. Kisahnya sendiri diadaptasi dari kisah nyata melalui sudut pandang seorang pengusaha gim AS, Henk Rogers.

Pada tahun 1988, Henk Rogers (Tagerton) tengah memamerkan produk gim terbarunya di sebuah acara pameran elektronik. Namun, Rogers justru terkesan dengan permainan bernama Tetris dan mencoba mencari tahu asal usul dan hak patennya. Seorang bernama Robert Stein (Jones) melalui perusahaan Andromeda Software telah mendapatkan lisensi gim tersebut yang didapat dari perusahaan Rusia, ELORG.  Stein bersama perusahaan besar Mirrorsoft telah mendapatkan hak paten untuk CPU, konsol gim, dan arcade. Rogers mendapatkan hak paten gim tersebut untuk negara Jepang, di mana ia dan keluarganya kini tinggal. Rogers menawarkan hak paten Tetris ke Nintendo, yang kini tengah mengembangkan gim handheld, yang hak patennya belum mereka miliki. Rogers pun lalu pergi ke Rusia dan mencoba bernegosiasi dengan ELORG menyoal hak paten Tetris untuk gim handheld. Di sinilah semua kerumitan kisahnya bermula. Rogers terjebak di antara otoritas ELORG, pejabat korup, KGB, sang kreator gim, serta petinggi Mirrorsoft yang menggunakan segala cara untuk mendapatkan hak patennya.

Tetris adalah sebuah kejutan di luar biasa. Hanya menyoal pengurusan hak paten, alur plotnya bisa terasa begitu menegangkan layaknya thriller spionase sekelas Bond dan Bourne. Plot yang terlihat begitu kompleks di awal, berubah haluan menjadi sebuah perlombaan yang menegangkan untuk mendapatkan paten gim dengan segala kerumitan birokrasinya. Negara Soviet yang tengah dalam suasana perang dingin menambah ketegangan plot yang menjadikan arahnya sulit diprediksi. Sosok sang pencipta gim, Alexei menjadi penyeimbang di antara pihak protagonis dan antagonis. Alexei sekaligus menjadi simbol kebebasan yang diinginkan rakyat Rusia terhadap opresi pemerintahan selama ini.

Baca Juga  The Good Dinosaur

Satu kejutan pula adalah penuturan cerita dan kemaasan estetiknya yang identik dengan gim itu sendiri. Jika kamu pernah bermain Tetris, semakin tinggi levelnya, semakin intens pula gimnya. Alur plot film ini merepresentasikan hal yang sama dengan kemasan estetik layaknya pula sebuah gim. Setiap perpindahan adegan diikuti graphic match di awal shot-nya yang menyajikan gambar grafis bernuansa animasi gimnya. Bahkan di segmen klimaks, secara visual adegan aksinya dikemas seolah seperti kita tengah bermain gim. Ini adalah satu contoh konsep pengemasan estetik brilian yang sejiwa dengan semangat kisahnya.

Siapa menduga filosofi permainan Tetris, bisa dikemas begitu intens dalam film biografi-thriller bertitel Tetris. Selain lokasi eksotis yang berpindah ke banyak negara, sederetan kastingnya menjadi salah satu faktor keberhasilan filmnya. Mereka semua mampu membawakan perannya begitu percaya diri, baik sosok yang terancam(protagonis), maupun yang mengancam (antagonis). Semuanya bermaan brilian. Dari semua intensitas ketegangannya, film ini bahkan masih sempat pula menyelipkan sisi menyentuh yang hangat pada penutup filmnya. Dinginnya negara Rusia mampu diimbangi dengan kehangatan sisi humanis ini. Tetris adalah sebuah film biografi langka yang memiliki kualitas mengesankan baik kualitas naskah maupun kemasan estetiknya.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
90 %
Artikel SebelumnyaBuku Memahami Film edisi 2 di Google Play Book
Artikel BerikutnyaThe Super Mario Bros. Movie
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.