adaline-poster
Movie Poster

Sutradara: Lee Toland Krieger
Produser: Sidney Kimmel/Gary Luchessi/Brett Ratner/Tom Rosenberg
Penulis Naskah: J. Mills Goodloe/Salvador Paskowitz
Pemain: Blake Lively/Harrison Ford/Kathy Baker/Michiel Huisman
Sinematografi: David Lanzenberg
Editing: Melissa Kent
Ilustrasi Musik: Rob Simenson
Studio: Lakeshore Entertainment/Sidney Kimmel Entertainment/RatPac-Dune Entertainment
Distributor: Lionsgate
Durasi: 112  menit
Bujet: US$ 25 juta

Kisah tentang keabadian memang bukan hal baru dalam film namun The Age of Adaline menawarkan sebuah kisah drama yang unik. Alkisah Adaline (Lively) adalah seorang wanita yang tidak bisa menua akibat kombinasi kecelakaan mobil dan anomali alam. Adaline kini telah berumur seratus tahun lebih masih tampak awet muda, bahkan putrinya terlihat seperti neneknya. Sejak peristiwa tersebut Adaline selalu menghindar dengan berganti nama dan pindah dari satu tempat satu ke tempat lain untuk bisa menutupi identitasnya. Suatu ketika Adaline dekat dengan Ellis (Huisman), seorang pemuda yang ternyata adalah putra dari William (Ford) yang dulu punya hubungan asmara dengannya.

Tidak ada yang salah dengan alur kisahnya. Anamoli peristiwa Adaline mampu dijelaskan secara “ilmiah” yang dibawakan manis oleh suara lembut narator “voice of God” (Hugh Ross) sejak pembukaan. Satu hal pertanyaan mengganjal hingga akhir kisahnya adalah mengapa harus Adaline? Konsekuensi apa yang menyebabkan ia harus menerima ”kutukan” tersebut? Motif ini penting karena inilah yang membuat kita bisa merefleksikan dengan kehidupan kita. Adaline adalah seorang wanita biasa yang hidup normal hingga sebuah petir menyambarnya. Tanpa alasan yang jelas ia harus menerima konsekuensi semuanya dan dipaksa untuk selalu lari dari masalah. Organisasi pemerintah entah FBI atau semacamnya sempat mengendusnya namun Adaline bisa lari. Agak aneh jika selama puluhan tahun pemerintah tidak bisa melacaknya lagi karena wajah Adaline jelas-jelas tidak berubah. Tapi ini bukan inti masalahnya.

Baca Juga  Beyond Skyline

Kisah “kutukan” seperti ini sudah sering kita lihat dalam film dan motif simbolik biasanya tersirat kuat di filmnya. Dalam plot sejenis umumnya tokoh utama adalah seorang yang egois, sombong, amoral, dan lainnya hingga ia harus menerima pelajaran melalui “kutukan” tersebut hingga akhirnya mengalami pencerahan batin, seperti karakter Phil dalam The Groundhog Day. Kasus Adaline sangat berbeda. Adeline dengan keabadiannya bukan lantas menjadi sosok wanita penggoda yang suka mempermainkan lelaki.  Hasratnya sebagai wanita tidak hilang hanya ia takut kehilangan. Alhasil, Adeline selalu lari dari masalah ketika hubungan beranjak serius yang tergambar beberapa kali melalui serangkaian kilas-balik. Ini pun digambarkan sekilas tanpa bisa memberikan kesan yang mendalam bagi penonton dari hubungan Adaline. Kembali ke pertanyaan diatas, mengapa harus Adaline? Adaline tidak pernah mempertanyakan ini pada dirinya sendiri namun justru sibuk lari dari masalah. Solusi masalah pun begitu sederhana dan mudah ditebak, teramat klise.

Dengan premis unik kisah Adaline sebenarnya memiliki potensi pengembangan konflik batin yang bisa dieksplor lebih jauh dan dalam. Blake Lively mampu memerankan Adaline dengan sempurna, sebagai wanita “abadi” berkelas, sopan, bijak, dan dewasa. Para pemain lain, seperti Ford dan Huisman pun bermain tidak mengecewakan. Sungguh amat disayangkan, The Age of Adaline dengan kasting yang mumpuni dan membawa premis unik namun dikecewakan motif cerita yang lemah serta konflik dan penyelesaian masalah yang dangkal.

MOVIE TRAILER

PENILAIAN KAMI
Total
50 %
Artikel SebelumnyaJackie Chan Belum Pensiun!
Artikel BerikutnyaJurassic World
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). A lifelong cinephile, he developed a profound passion for film from an early age. After completing his studies in architecture, he embarked on an independent journey exploring film theory and history. His enthusiasm for cinema took tangible form in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience eventually led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched students’ understanding through courses such as Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended well beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, Understanding Film, an in-depth examination of the essential elements of cinema, both narrative and visual. The book’s enduring significance is reflected in its second edition, released in 2018, which has since become a cornerstone reference for film and communication scholars across Indonesia. His contributions to the field also encompass collaborative and editorial efforts. He participated in the compilation of Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1–3 and 30 Best-Selling Indonesian Films 2012–2018. Further establishing his authority, he authored Horror Film Book: From Caligari to Hereditary (2023) and Indonesian Horror Film: Rising from the Grave (2023). His passion for cinema remains as vibrant as ever. He continues to offer insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com while actively engaging in film production with the Montase Film Community. His short films have received critical acclaim at numerous festivals, both nationally and internationally. In recognition of his outstanding contribution to film criticism, his writing was shortlisted for years in a row for Best Film Criticism at the 2021-2024 Indonesian Film Festival. His dedication to the discipline endures, as he currently serves as a practitioner-lecturer in Film Criticism and Film Theory at the Indonesian Institute of the Arts Yogyakarta, under the Independent Practitioner Program from 2022-2024.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses