Di luar horor found footage yang kini tengah tren, horor konvensional berkualitas baik sudah jarang kita lihat, sebut saja macam Insidious dan The Conjuring, dan satu lagi yang boleh dibilang fenomenal adalah The Babadook. The Babadook adalah film produksi patungan Kanada-Australia, debut dari sutradara Jennifer Kent. Plot filmnya terbilang sederhana. Alkisah seorang ibu, Amelia (Davis), memiliki trauma karena ketika akan melahirkan sang putra, Samuel (Wiseman), ia dan suaminya mengalami kecelakaan mobil hingga sang suami tewas. Samuel tumbuh menjadi anak yang manja dan aneh serta sering berimajinasi tentang monster yang selalu menganggunya. Suatu ketika sang ibu membacakan Sam sebuah kisah horor “Babadook” dari buku yang ia temukan. Sejak saat itu kejadian aneh terus terjadi di rumah dan Sam merasa yakin Babadook tengah meneror mereka.

Dari plot yang sederhana cerita berkembang menjadi sangat kompleks. Ketegangan dan horor yang dibangun dari waktu ke waktu semakin bertambah dan rasa penasaran selalu terusik. Cerita berjalan lambat namun pasti menuju klimaks film dengan sedikit twist di tengah cerita. Sang anak yang terkesan antagonis sejak awal cerita berubah drastis pada paruh tengah cerita. Bedanya dengan kebanyakan film horor lain adalah tidak ada sosok penolong, seperti pendeta atau lainnya yang membantu mereka mengatasi masalah. Penggunaan efek formula horor standar, seperti efek suara dan visual juga digunakan, sedikit unik adalah sentuhan ekspresionis pada efek bayangan, atmosfir ruangan, hingga sosok sang monster, dan terakhir ilustrasi musik yang selalu meneror penonton. Semua ini bukan pencapaian istimewa untuk film horor dan memang bukan pada aspek ini kekuatan The Babadook sesungguhnya.

Baca Juga  Batman: The Long Halloween Part One

Kekuatan film ini lebih dari separuhnya ada pada pencapaian akting dua tokoh utamanya. Davis dan Wiseman bermain sangat cemerlang sebagai ibu dan putranya. Davis hampir sepanjang film tampil begitu ekspresif dengan mampu selalu terlihat lelah lahir batin akan semua masalah dan trauma yang ia hadapi namun paruh kedua cerita berubah secara kontras menjadi sosok yang temperamental dan sadistik layaknya psikopat. Sementara aktor cilik, Wiseman, bermain sangat brilyan sebagai seorang anak bermasalah yang sangat membutuhkan perhatian ibunya. Dari sosok yang menjengkelkan tidak hanya ibunya namun penonton, Wiseman mampu merubah menjadi sosok anak yang penuh rasa khawatir sekaligus takut namun juga amat sayang pada ibunya. Satu contoh adegan ketika ia “kesurupan” di mobil, akting Wiseman benar-benar terlihat amat meyakinkan. Dua aktor ini bermain sangat fantastis dan mampu mengangkat semua aspek filmnya.

The Babadook adalah sebuah fenonema yang amat langka di era horor modern saat ini. Film ini merupakan kombinasi yang seimbang antara horor, thriller psikologis, pencapaian akting fantastis, serta kedalaman tema keluarga. Sejak film horor ikonik, The Exorcist (1973), film ini adalah film horor terbaik yang pernah ada. Di sisi pencapaian tema, The Babadook memiliki pesan yang amat kuat. Sang monster adalah metafora dari trauma sang ibu yang tidak mampu melepas kepergian suaminya. Masalah hanya bisa dihadapi dan diselesaikan sang ibu dan anak sendiri tanpa bantuan orang lain. Trauma pasti masih membekas namun kekuatan kasih sayang bisa mengalahkan segalanya. The Babadook menyajikan semuanya dengan penuh kepercayaan diri tinggi serta pencapaian yang sempurna.

PENILAIAN KAMI
Total
100 %
Artikel SebelumnyaUniversal Studios pecahkan rekor dengan US $5 Milyar!
Artikel BerikutnyaIt Follows
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.