Apa yang akan pergi dan apa yang akan datang, film tetap berdengung di antara tahun-tahun yang timbul-tenggelam. Tahun 2022 akan terlepas dari genggaman kita dalam hitungan jam yang singkat. Beratus-ratus atau mungkin telah genap ribuan film, dilahirkan pada tahun ini, mulai dari yang datang dari skala-skala ruang kecil independen maupun industrial mainstream. Beberapa film datang dengan skema yang baru nan segar, dan cerita-cerita yang lebih unik. Beberapa muncul dengan sekuel-sekuelnya atau sebuah remake-nya—menyeret masyarakat kembali pada bioskop dan masuk ke dalam nostalgia tontonan masa lampau mereka. Beberapa film menyuguhkan permenungan-permenungan tentang peradaban manusia—eksistensi kehidupan yang dehumanis. Beberapa film juga berupaya memvisualisasikan dunia paralel. Ada yang membentuk semesta yang multidimensi. Ada yang berseliweran di ambang langit-langit. Ada yang mengajak masyarakat dunia menikmati pengalaman menonton tiada tanding—sekaligus menjadi sebuah epilog yang indah untuk bersama-sama mengucap ‘selamat tinggal’ pada tahun 2022. Mahakarya, pada kenyataannya akan selalu menampakkan diri—bertunas dan lekat di ingatan.
Setiap dekade atau bahkan yang lebih kecil, tahun, kerap hadir dengan diwakilkan oleh karya-karya film terbaik. Tahun 2000, barangkali kita tak pernah ingin meninggalkan tahun itu— tahun ketika In the Mood for Love memutus rantai stereotip negatif dan remeh terhadap genre romansa. Mencatatkan dirinya di antara film-film berorientasi seni yang dikagumi khalayak dunia. Melalui kisah penyatuan platonik dari keterasingan dua karakter di dalamnya yang memiliki duka yang sama—karya dari tangan dingin Wong Kar Wai itu menjadi film yang paling hebat dalam memanfaatkan bahasa gambar pada tahun 2000—atau bahkan selamanya. Tak sampai menanti lama bagi kita melihat gejolak inovasi dalam sinema dunia, selang 11 tahun dari dirilisnya mahakarya Wong Kar Wai—muncul A Separation dari negeri Persia yang memukul mundur bala tentara musuh pada perhelatan Academy Awards 2012. Iran cukup gahar menunjukkan taringnya ke dunia internasional lewat kisah-kisah dilema moral dalam lingkup sosial-budaya sejak Kiarostami, Majid, dan Makhmalbaf melongokkan batang hidung mereka. Tapi kemunculan A Separation yang paling (barangkali kembali) menyeret perhatian dunia, yang kemudiannya pada masa-masa transisi dekade saat itu memaksa kita melupakan sejenak 4 months 3 weeks and 2 days yang hilang kendali memamerkan gejolak emosi.
A Separation menjadi film dengan kompleksitas narasi yang betul-betul menegangkan— mengandung pelbagai permenungan-permenungan, di belakang kisahnya yang disulut kesederhanaan maksud dan kesalahpahaman yang tak perlu dibesarkan (setidaknya dari kacamata penonton). Pengemasannya dalam ruang-ruang yang sempit nan kalut, barangbarang yang bertebaran tiada rapi, jalanan yang riweh, dan pertarungan dialog karakter yang saling berselisih semakin mengacaukan horison di dalam film ini. Namun mobilisasi narasi dari durasi awal sampai akhir tak menemui tanda-tanda hilang kendali. Hasilnya, A Separation dengan skenario kuatnya mampu menyampaikan isu dilema moral secara ketat dan benar-benar mapan. Dari sana, Ashgar Farhadi membawa pulang Oscar dari nominasi Film Asing Terbaik dan melihat 99% akumulasi kritik positif tertera di laman Rotten Tomatoes untuk filmnya.
Menyinggung In the Mood for Love dan A Separation pada tahun 2000, dekade 2010-an—saya ingin melempar ingatan saya ke tahun 1994, di mana film-film terbaik, lahir dan bergebalauan. Persaingan begitu ketat untuk menegaskan siapa yang berhak keluar sebagai the greatest of 1994 pada saat itu. Pulp Fiction memang menyandang juara Palme D’or, tapi yang kemudian menjadi sebuah kontroversi yang berkepanjangan. “Tak adil. Ia merebut hak dari Three Colors Red,” sesal beberapa pengamat film dan kritikus akan peristiwa itu. The Shawshank Redemption unggul telak di segala penjuru mata angin—dari mulai Rotten sampai IMDB dilibasnya. Ia menginjak-nginjak Forest Gump, sang juara Oscar—menekuknya di dangkal paling dasar. Sementara jauh di timur Benua Eropa, Chungking Express menimbulkan keterpukauan siapapun-apapun yang ada di Cannes melaui gaya tutur yang terbilang aneh dan keotentikan sinematografinya yang sangat merefleksikan urbanisasi Hong Kong.
Tahun 2022 sebetulnya tak jauh berbeda dari 1994. Persaingan untuk keluar sebagai film terbaik sangatlah ketat. Tahun ini film-film baik bertebaran dengan gaya yang baru dan jalinan cerita yang baru pula. Cukup sulit untuk mengumpulkan film mana yang harus bertengger di posisi atas untuk tahun ini. Karena hampir kebanyakan film-film yang dirilis tahun 2022 memiliki keunggulannya sendiri-sendiri yang ditunjang oleh kemajuan sinema dunia. Ditambah lagi saya memiliki ruang dan waktu yang terbatas untuk mengamati keseluruhan film yang rilis pada tahun ini. Jadi yang perlu diketahui di sini adalah, bahwa keseluruhan dari film yang saya himpun untuk dinilai secara pribadi merupakan film-film yang memiliki keleluasaan muncul ke permukaan—yang telah tergapai oleh milyaran mata penonton dunia.
Dan satu lagi yang perlu saya informasikan di sini adalah, bahwa penilaian saya tak bertumpu pada situs kritik film manapun, tak berpijak pada rating, pada jumlah banyaknya penonton, kendati nanti hal-hal itu kemungkinan besar akan saya gunakan sebagai sebuah penegasan atau kelayakan akan penilaian saja. Namun, penilaian ini akan mutlak datang dari subjektivitas saya, dari proses pengamatan saya terhadap film-film 2022 yang saya nikmati. Tentu akan ada yang pro dan kontra, tapi saya usahakan tak pedulikan itu semua—masa bodo. Karena saya tak bisa sepenuhnya berpegang teguh pada situs-situs ulasan, festival penghargaan sekelas Cannes atau Oscar atau Cesar atau Berlinale atau bahkan FFI (tak meyakinkan sekali kalau FFI rasarasanya). Karena menentukan film sebagai yang terbaik dalam konstelasi sinema agaknya perlu pembacaan yang lebih hati-hati dan teliti.
Di sini, dari keseluruhan film yang dapat saya sentuh, saya mengambil 20 film yang menurut saya layak menempati posisi 20-1. Tentu akan ada penempatan yang barangkali para pembaca rasa keliru dan fatal. Tapi lagi-lagi saya ingatkan, saya ingin tak peduli akan hal itu. Karena yang paling penting adalah urutan teratas pada daftar film-film terbaik ini tidaklah berubah dan saya yakin nihil kekeliruan terhadap itu; kenapa itu yang terbaik? Kenapa itu yang teratas? Saya akan berupaya keras menjelaskannya. Selanjutnya, langsung saja, urutan akan dimulai dari peringkat yang paling terakhir, kemudian akan dilanjut sampai peringkat pertama. Berikut film-film terbaik 2022 (The Beauty of 2022), here we go.
20. Crimes of the Future
19. Before Now and Then
18. RRR
17. Corsage
16. Holy Spider
15. Everything Everywhere All at Once
14. Nope
13. Top Gun: Maverick
12. Decision to Leave
11. All Quiet on the Western Front
10. Guillermo del Toro’s Pinocchio
9. Avatar: The Way of Water
8. Triangle of Sadness
7. Tar
6. The Fabelmans
5. The Menu
4. Cici
3. Broker
1. Aftersun
Film-film mengejutkan datang pada tahun ini dengan narasi besar, isu-isu krusial, tema-tema meyakinkan tentang keberadaan multidimensi. Film-film tahun ini sedikit banyak berangkat dari fenomena abstrak yang dirasanya kelak ada (atau memang ada?) serta fenomena-fenomena antroposentrisme tetek-bengek yang padahal hingga kini tak kunjung selesai perkaranya. Dan kesemuanya itu mengisi porosnya masing-masing untuk melaju meyakinkan dunia, yang manakah yang paling baik di antara mereka, yang manakah yang paling rawan tercatat pada sejarah sinema, yang manakah yang akan keluar sebagai film yang fenomenal, yang manakah yang akan dianggap sebagai ‘The Greatest’ ‘The Best’ ‘The Good’ dan ‘The Masterpiece’. Apakah yang terbaik adalah yang berkontribusi dengan menyulut bara permenunganpermenungan umat manusia? Atau yang menempatkan satu produk sebagai bahan lelucon? Atau yang memantik masyarakat dunia untuk mengingat kembali peristiwa kelam yang pernah terjadi? Atau yang berupaya menonjolkan status gendernya di tengah-tengah anggapan adanya ketimpangan gender? Atau kisah cinta yang (terlarang) dalam perspektif masyarakat normal? Atau itu atau ini?
Crimes of the Future mungkin merupakan film dengan tema yang paling menjurang pada tahun ini. Eksistensi manusia pada masa depan yang entah kapan, punya potensi wajib beradaptasi lagi dengan lingkungan yang terkesan sintetis; di mana umat manusia berevolusi lagi dan perlu memakan limbah industri karena luluh lantaknya sumber daya alam yang digerus oleh antroposentrisme itu sendiri. Tapi tema ini usang, apalagi indikator-indikatornya termuat dalam semesta film Avatar. Di samping itu, Crimes of the Future masih terbata-bata mengkonsep narasinya dengan kematangan yang pas.
Kemudian kemunculan Everything Everywhere All at Once yang mengalami lossing control-nya sebagaimana Triangle of Sadness. Film tersebut semakin memperkeruh apa itu multidimensi yang menjadi diskursus di pelbagai pihak, dan beberapa film yang terlebih dahulu telah menerapkannya, ketika mengangkut tema-tema yang tak penting bagi kelangsungan makna yang ingin dibangun. Kalau memang dugaan saya benar bahwa Everything Everywhere All at Once cuman sebatas parabel atas sebuah cinta, maka ia tentu kalah telak dari Inception. Lalu peperangan. Perang dalam All Quiet on the Western Front dan perlawanan atas kolonialisme dalam RRR sudah berapa benyak kita temukan dalam sejarah perfilman dunia. Entah itu sebagai bentuk sikap anti perang atau yang lainnya. Memang ledakan bergelegar dalam kedua film itu, tapi untuk menjadi yang terbaik dengan adu moncong senjata dan lempar granat, terlalu mudah dan sepele.
Karena bagi saya tidak bisa di bagian itu saja. Narasi-narasi demikian, yang mendominasi disebut sebagai kandidat terbaik itu, telah terlalu banyak menciptakan semesta yang sempit untuk karya film yang sesungguhnya punya banyak gesekan lemah lembut dengan diri kita— karya film yang menciptakan dua kursi satu meja yang dapat dengan mudah kita bujuk untuk saling berinteraksi, terbentuk komunikasi luar dalam. Film terbaik haruslah puitis, ia dapat menjalin-kelindankan antara narasi dan gaya tuturnya untuk sampai ke sebuah momentum yang indah. Dan itu, pada tahun 2022 ini, kita dapati dalam Aftersun. Ketika berbagai film menggandong tema-tema yang genting nan fundamental, Aftersun berdiri di samping kita, dan semenjak itu, sebentang jarak antara kita dan sebuah karya berguguran, berserpihan. Aftersun membungkus sebuah peristiwa sederhana dengan cara yang tidak sederhana. Ada kreasi yang bermain di dalamnya, kreasi yang bukan sebatas main-main—bukan sekadar bercerita lalu selesai. Aftersun menciptakan komposisi tempo yang menghindar dari terkaan, dari klise, dari pengemasan yang usang. Sinematiknya bergerak seperti seseorang wanita yang sedang menari balet dengan indah—transisi resolusi, kepekaan terhadap ruang, dan kelugasan memanfaatkan teknik sinema—kilas balik saling berkejaran lewat fragmen-fragmen cepat yang terbentuk oleh sebidang ruang miskin pencahayaan—dan itu merupakan sebuah kebaharuan dalam eksplorasi plot film.
Menonton Aftersun di antara konstelasi film-film 2022, membuat saya seketika teringat akan peristiwa kemenangan Wisława Szymborska di perhelatan Nobel Sastra pada tahun 1996. Hampir keseluruhan kandidat yang diunggulkan mengangkat narasi-narasi akbar. Namun Wisława datang dengan buku kumpulan puisi debutnya yang mengangkat tema-tema sekitar, anasir-anasir yang sangat dekat dengan kita, melalui gaya tutur yang berkarakter. Judul-judul puisinya benar-benar tak mempunyai bobot yang kuat sebagai sebuah karya tandingan, seperti Kebisuan Tanaman, Memandang dengan Sebutir Pasir, sampai dengan Iklan.
Begitu serupa dengan Charlotte Wells yang datang dengan narasi sederhana yang sangat pesimistis untuk jadi film yang berkelas, berseni, dan terbaik. Namun, ia menggelar kisah pasangan ayah-anak yang berkarakter, tidak cengeng seperti drama ayah-anak pada umumnya, sangat nyeni, sangat menjelma film, bahkan terbilang menjelma sebuah puisi yang tidak pernah gamblang membabarkan makna dan juga tidak kejam menyimpan informasi tentang sebuah maksud. Aftersun merupakan (mungkin) satu-satunya film yang paling dekat dengan kita sebagai penonton. Ada proses renung yang amat panjang di sana, ada sebuah rekomendasi di sana yang seharusnya kita tempuh; memelihara sebuah momen, sebuah peristiwa yang retak dan kita membikinnya menyatu padu kembali.
Aftersun berhak menjadi film terbaik tahun 2022 karena ia telah menjalani kewajibannya. Kewajiban yang bukan muluk-muluk untuk sebuah peradaban, kewajiban yang tak berlebihan untuk sebuah negara, namun kewajibannya itu, yang telah berhasil menyentuh relung manusia untuk kembali merestorasi kisah pribadinya masing-masing bersama sosok yang terdekat— bersama yang disayang, bersama yang dikasihi. Dan di penghujung film, pada sebuah epilog yang mengejutkan dalam Aftersun, kita akan melihat bukti dari perjalanan karir sineasnya yang jenius menghidupkan sebuah gambar, menghidupkan sebuah film, dan menghidupkan sebuah masa lalu yang retak, sebuah the past is fractured.
Itulah film-film terbaik yang ada di tahun 2022. Penilaian terhadap film-film yang menempati posisi di atas dilakukan berdasarkan pengamatan pribadi dan tidak diinterupsi oleh situs kritik manapun. Film terbaik bukanlah film yang jago mengangkat tema yang besar, tapi malah gagal dalam pengemasannya. Film terbaik lebih kepada bagaimana ia mengemas tema yang diangkatnya. Kesetaraan dua unsur film yakni sinematik dan naratif sebaiknya mengalir secara simultan alih-alih berat sebelah. Dan film yang menempati posisi atas, yaitu Aftersun memiliki itu semua. Film tersebut leluasa menjalankan cerita dengan bahasa gambarnya, dan gaya tutur yang istimewa.