Mengandung spoiler: disarankan untuk menonton filmnya sebelum membaca ulasan ini.
Masih ingat Timo Tjahjanto? Sineas dengan film-film yang lebih brutal dari Kimo Stamboel, rekannya dalam membuat Rumah Dara (2009) dulu. Kali ini dia masih menyuguhkan film dengan karakteristik, tema, dan gaya yang masih sama lewat The Big Four. Melalui skenario yang dia tulis pula bersama Johanna Wattimena, film aksi komedi dan kriminal rilisan Netflix ini adalah produksi Frontier Pictures –yang sejauh ini belum punya film berkualitas. Para pemainnya ada Budi Ros, Abimana Aryasatya, Arie Kriting, Lutesha, Kristo Immanuel, Marthino Lio, serta Putri Marino –debut film laganya. Brutalitas seperti apa lagi yang mau disuguhkan oleh Timo kali ini?
Petrus (Budi Ros) menjadi orang tua tunggal bagi putri semata wayangnya yang hendak diresmikan sebagai polisi, Dina (Putri). Namun ia juga punya empat anak adopsi yang sering menjalankan misi penyelamatan ilegal anak-anak yatim-piatu, dengan peran dan keahlian masing-masing. Topan (Abimana) dan Apha (Lutesha) yang ahli bela diri menyerang target dengan masuk ke dalam tempat mereka. Jenggo (Arie) yang jago menembak jarak jauh menunggu aba-aba di atas bangunan, sementara Pelor (Kristo) si anak terakhir yang selalu jadi umpan. Namun saat Petrus mulai serius untuk pensiun agar bisa lebih memerhatikan Dina, seseorang dari masa lalunya muncul dan mengacaukan mereka.
The Big Four nyatanya tak mampu memanfaatkan dengan baik para pemainnya. Nama-nama seperti Abimana, Martino, maupun Lutesha menjadi sia-sia. Bahkan kesempatan Putri untuk bisa unjuk gigi pun terlewatkan, dan berakhir memerankan sosok yang kebingungan sendiri dengan karakternya. Boleh jadi Timo juga masih terbayang-bayang dengan The Night Comes for Us (2018). Film dengan brutalitas aksi tanpa batas, dengan logika cerita sekenanya. The Big Four pun tampaknya seru dan menggairahkan ketika ditonton, padahal punya penceritaan yang asal ada. Apapun yang terjadi kepada para tokoh sentralnya, pertikaian adalah solusi mereka. Lazim sekali ada (misalnya) dalam Pertaruhan: The Series, atau yang lainnya.
Timo memang bisa membuat adegan laga yang seru bahkan brutal. Namun sineas ini tidak mampu memasukkan logika yang baik ke dalam penceritaannya. Terlebih dengan adanya elemen komedi dari berbagai celetukan yang banyak dipaksakan. Sineas ini memang secara terang-terangan menunjukkan kegemarannya untuk selalu membuat film dengan pengemasan gaya The Night Comes for Us-nya.
Satu hal paling fatal yang gagal dipikirkan oleh Timo adalah keberadaan anak-anak di bawah umur. Kita sudah sangat tahu film-film brutal dalam negeri pasti menyertakan pula dialog-dialog dengan pilihan kata yang kasar atau mengandung sumpah-serapah. Namun Timo seakan mengabaikan kehadiran tokoh anak-anak dalam filmnya yang menyertakan semua kebrutalan itu.
Singkat kata, yang penting film brutalnya selesai produksi dan berhasil tayang. Sisanya bukan menjadi urusan dia. Apakah jalinan ceritanya logis atau tidak. Apakah dimensi karakter yang diciptakan untuk setiap tokoh masuk akal. Apakah melibatkan banyak anak-anak atau tidak. Dia tidak peduli. Selama adegan-adegan aksinya seru dengan banyak darah, organ yang rusak atau terpotong, tembakan, maupun ledakan. Tidak usah mempertanyakan standar moral dari seorang Timo, karena sepertinya itu bakal percuma.
Rentang waktu pun jadi soal dalam The Big Four. Dikisahkan pascakematian Petrus di tangan seorang pembunuh misterius, keempat anaknya yang dijuluki The Big Four malah pensiun sambil mengelola sebuah villa di sebuah pulau. Sampai tiga tahun kemudian Dina, putri kandung Petrus mencari pembunuh ayahnya dan mereka pun bertemu. Baru kemudian mereka bergerak untuk balas dendam. Itu pun dengan keterampilan yang telah menumpul. Dari penggalan singkat ini saja kita sudah bisa merincikan banyak hal yang tidak masuk akal. Mulai dari keinginan membalas dendam yang baru muncul, keterampilan tanpa tanding yang jauh menumpul hanya dalam waktu tiga tahun, hingga ketiadaan upaya dari keempat anak adopsi Petrus untuk –minimal—mencari tahu pembunuh ayah mereka.
Barangkali dari segi kebutuhan visual untuk menghadirkan sensasi aksi seru sekaligus brutal, The Big Four telah lumayan baik. Setidaknya bila dibandingkan dengan sineas lokal lain yang juga pernah membuat film dengan genre serupa. Soal akting terutama. Melihat olah peran seorang Putri Marino yang berbeda dari film-filmnya selama ini bisa dikatakan cukup menyegarkan. Ketika ia memerankan sosok Dina yang berubah dari polisi paling rajin menjadi seorang putri yang brutal, menggebu-gebu, dan berapi-api, hanya karena berambisi untuk balas dendam. Meski tetap sia-sia, karena penciptaan dimensi karakter untuk Dina mereduksi empati kita kepadanya.
Kendati The Big Four mengisi kekosongan film aksi gila-gilaan tanah air, tetapi Timo kurang berhasil mengolah skenarionya. Yang penting aksi, aksi, dan aksi! Kematangan cerita dan detail-detail setiap adegannya tidak terlalu penting. Jika kita ingat-ingat kembali bagaimana The Night Comes for Us, The Raid, dan The Raid 2: Berandal dihadirkan, yang membekas hanyalah adegan laganya. Berapa banyak dari kita yang mengingat elemen cerita atau penggarapan skenarionya? Itu pun terjadi pada The Big Four. Bahkan Timo tampak enggan repot-repot memikirkan setiap pemicu dari semua konfrontasi dan perkelahian dalam filmnya. Sebetulnya masih banyak sekali kekonyolan dalam dimensi karakter yang diberikan kepada setiap tokoh. Namun itu hanya akan memperbesar spoiler. Jadi saksikan saja sendiri.