The Boy (2016)

97 min|Horror, Mystery, Thriller|22 Jan 2016
6.0Rating: 6.0 / 10 from 103,586 usersMetascore: 42
An American nanny is shocked that her new English family's boy is actually a life-sized doll. After she violates a list of strict rules, disturbing events make her believe that the doll is really alive.

Film horor yang berisi “boneka pembunuh/setan” jelas sudah tidak bisa dibilang baru, sejak seri Chucky yang entah sudah berapa banyak filmnya, Annabelle, Poltergeist, hingga karakter Slappy di Goosebump baru lalu. Sineas horor biasanya mencoba mencari hal yang baru pada bentuk terornya untuk membuat kejutan-kejutan pada penonton. Apa yang bisa mereka perbuat dengan keterbatasan sebagai boneka, serta seberapa sulit membunuh mereka? The Boy mencoba mencari celah lain di antara film bertema sejenis sekalipun usahanya pun tidak bisa dibilang baru.

Alkisah Greta (Lauren Cohan), seorang wanita muda asal Amerika yang menerima pekerjaan sebagai pengasuh anak pada keluarga Heelshire di wilayah pinggiran Inggris. Hal yang mengejutkan adalah Greta ternyata bukan untuk mengasuh anak sungguhan namun sebuah boneka bernama Brahms. Bayaran yang mahal serta pelarian dari masalah di tempat asalnya menjadi alasan utama Greta menerima tawaran aneh ini. Suatu ketika, kedua majikannya pergi untuk waktu yang lama dan Greta ditinggal sendiri di rumah tua besar tersebut. Keanehan demi keanehan mulai terjadi dan Greta lambat laun menyadari bahwa Brahms ternyata bukan sekedar boneka yang ia pikir.

Bagi penggemar horor tulen jelas tahu persis plot sejenis sudah terlalu banyak, khususnya tema “rumah hantu” namun kali ini hanya dikombinasi dengan unsur “boneka”. Sejak awal cerita penonton sudah digiring arah pengembangan plotnya. Penonton menduga-duga apa yang akan terjadi dan memang film ini memiliki arah perkembangan cerita yang sedikit berbeda. Unsur horor berubah menjadi thriller, dan ketika semua terbuka, tak ada lagi rasa penasaran selain unsur ketegangan yang sudah sering kita lihat di film-film lain. Usaha untuk membuat kaget penonton dengan kejutan-kejutan kecil seperti yang dilakukan film-film horor sejenis tidak ada disini. Kekuatan cerita hanya pada bagaimana film ini mampu menunda informasi sehingga membuat rasa penasaran terusik.

Baca Juga  Tarot

Sisi teror dan kejutan yang lazim ada pada genre horor bukan menjadi nilai lebih filmnya. Rekayasa digital serta musik yang mengagetkan tidak ada disini. Semuanya dilakukan secara konvensional dengan sedikit dukungan efek suara. Sama sekali tak ada yang baru disini. Salah satu kekuatan film jelas ada pada aktris muda yang bermain sebagai Greta, yakni Lauren Cohan, yang kita kenal melalui miniseri The Walking Dead. Tokoh Greta nyaris bermain solo sepanjang film dan Cohan memainkan perannya dengan sangat baik dengan mampu mengaburkan penonton di antara realita, mimpi, dan kewarasan. Satu lagi adalah setting yang mendukung atmosfir filmnya, sekali lagi tanpa CGI selain efek suara, tidak ada ornamen gothic dan perabot ukiran yang berlebihan namun pas mendukung cerita filmnya.

Hanya bermodalkan rumah tua, wanita muda, dan sebuah boneka sempat mampu membuat kita berekspektasi lebih pada kisahnya. The Boy mencoba mencari celah di antara film-film horor thriller sejenis melalui kejutan cerita, akting pemain utama, serta setting yang mendukung, dan usahanya bisa dibilang tidak jelek. Performa Cohan jelas menunjukkan talenta yang mampu berbuat lebih dari sekedar film horor macam ini. Tak ada yang perlu ditunggu dari subgenre horor ini, Chucky sudah melakukan segalanya yang terbaik, namun permainan akting Cohan di film berikutnya menarik untuk ditunggu.

Watch Video Trailer

PENILAIAN KAMI
Overall
50 %
Artikel SebelumnyaMidnight Show
Artikel BerikutnyaThe Wave
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.