The Cove (2009)
92 min|Documentary, Biography, Crime|07 Aug 2009
8.4Rating: 8.4 / 10 from 51,751 usersMetascore: 84
Using state-of-the-art equipment, a group of activists, led by renowned dolphin trainer Ric O'Barry, infiltrate a cove near Taijii, Japan to expose both a shocking instance of animal abuse and a serious threat to human health.

The Cove (2009) merupakan film dokumenter garapan Louie Psihoyos yang merupakan seorang mantan fotografer National Geography. Sekalipun mengundang kontroversi namun film ini mampu meraih puluhan penghargaan bergengsi di seluruh dunia termasuk piala Oscar untuk film dokumenter terbaik.

The Cove mengikuti perjuangan Ric O’Barry seorang aktivis yang peduli dengan nasib lumba-lumba. Ric adalah sosok dibalik sukses serial televisi “Flipper” di era 60-an dan ia sendiri yang membantu menangkap dan melatih semua lumba-lumba dalam serial ini. Serial televisi inilah yang menginspirasi dibangunnya taman-taman wisata laut di Amerika yang di dalamnya terdapat atraksi lumba-lumba. Pandangan Ric terhadap hewan mamalia laut ini berubah ketika seekor lumba-lumba kesayangannya mati “bunuh diri” di pangkuannya. Menurut Ric, lumba-lumba harus hidup bebas di laut lepas dan menderita berada dalam kurungan. Setelahnya Ric menjadi aktivis yang peduli dengan nasib lumba-lumba di seluruh dunia. Fokus Ric kini adalah mengungkap perburuan dan pembunuhan ratusan lumba-lumba di Taiji, Jepang.

The Cove layaknya film fiksi disajikan dengan sangat menarik, menghibur, menegangkan, serta informatif. Film diawali secara rinci menggambarkan latar belakang sosok Ric yang menjadi kunci utama film ini. Walau disajikan dari sudut pandang Ric semata namun sineas mampu memberikan data-data berupa fakta serta argumen yang memadai untuk mendukung pendapatnya. Layaknya serial film Mission Impossible, film ini secara menarik dan ringan menggambarkan bagaimana mereka mengumpulkan tim yang masing-masing memiliki keahlian khusus untuk membongkar perburuan lumba-lumba di teluk Taiji. Aksi mereka sendiri disajikan penuh ketegangan hingga misi mereka berhasil. Klimaks filmnya berupa serangkaian gambar rekaman yang mereka ambil secara rahasia dan dijamin akan membuat terhenyak siapa pun yang melihatnya.

Baca Juga  Moulin Rouge!, Pelopor Film Musikal Modern

Beberapa variasi teknik juga digunakan untuk membuat filmnya semakin menarik dan informatif. Teknik animasi dua dimensi dan tiga dimensi beberapa kali digunakan untuk menjelaskan data dan fakta. Seperti ketika menjelaskan kondisi geografis teluk rahasia di Taiji, sineas menggunakan animasi tiga dimensi yang disajikan atraktif dan menarik. Teknologi kamera juga sangat mendukung film ini. Dalam aksi mengungkap teluk rahasia tersebut, sineas menggunakan kamera infra red dan hasilnya tidak hanya efek realisme semata namun juga ketegangan yang mencekam. Pada sekuen klimaks, mereka menggunakan kamera HD yang mereka letakkan secara rahasia di beberapa titik, baik di darat maupun laut. Hasilnya walau menggunakan sudut-sudut kamera yang sangat terbatas sudah lebih dari cukup meng-cover semua peristiwa brutal yang terjadi di tempat ini.

The Cove adalah contoh sempurna bagaimana film dokumenter mampu begitu kuat mempengaruhi penonton. Warna merah air laut mampu berbicara lebih dari ribuan kata. Usaha keras dan keberanian tim produksi film ini untuk mengungkap fakta patut diacungi jempol. Namun dari sisi lain film ini hanya disajikan secara sepihak. Bangsa Jepang sangat didiskreditkan walau sebagian besar dari mereka tidak mengetahuinya. Mereka (pembuat film) juga tidak serta merta bisa membebaskan semua lumba-lumba yang ada dalam kurungan. Bisnis jutaan dollar investasi taman laut di seluruh dunia tidak bisa ditutup begitu saja. Setidaknya film ini menjadi titik tolak awal untuk mengajak kita lebih peduli terhadap nasib lumba-lumba.

WATCH TRAILER

Artikel SebelumnyaDespicable Me
Artikel BerikutnyaThe Limits of Control, Saatnya Manusia Diam dan Benda-Benda Bicara
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.