the electric state

The Electric State adalah film sci fi distopia yang digarap duo sineas populer, Anthony dan Joe Russo (Avengers: Infinity War dan Endgame). Tidak hanya sineas, namun penulis naskahnya pun, Christopher Markus dan Stephen McFeely juga terlibat, yang diadaptasi dari novel bergambar berjudul sama karya  Simon Stålenhag. Electric State juga membawa sederetan bintang besar, yakni Millie Bobby Brown, Chris Pratt, Ke Huy Quan, Jason Alexander, Woody Harrelson, Anthony Mackie, Brian Cox, Jenny Slate, Giancarlo Esposito, hingga Stanley Tucci. Film ini juga tercatat sebagai salah satu film paling mahal yang pernah diproduksi dengan bujet USD 320 juta!! Kurang apa lagi? Wajar jika rilisan Netflix ini memiliki ekspektasi begitu tinggi.

Pada tahun 1990, umat manusia berperang dengan kaum robot yang menuntut kebebasan. Saat manusia di ambang kekalahan, perusahaan teknologi bernama Sentre di bawah CEO, Ethan Skate (Tucci) membalikkan keadaan. Sentre memiliki alat yang mampu memindah pikiran manusia (Neurocaster) ke dalam robot (drone) yang dikendalikan penuh manusia. Kaum robot pun kalah dalam satu jentikan dan mereka dipenjara di wilayah gurun tandus, Barat Daya AS.  Beberapa waktu setelahnya, Sentre mulai menjual bebas teknologi drone dan sebagian besar manusia kini memilih hidup di alam maya hingga dunia nyata pun tidak terurus.

Setelah kecelakaan yang menewaskan seluruh keluarganya, seorang gadis remaja bernama Michelle (Brown) kehidupannya berubah drastis. Suatu malam, sebuah robot misterius datang, dan rupanya memiliki “jiwa” adik kandungnya yang ia anggap tewas. Michelle pun diarahkan sang robit untuk menemui seorang dokter bernama Amherst (Quan). Secara tak sengaja, mereka bertemu dengan seorang pria eks militer bernama John (Pratt) yang membawanya ke perbatasan wilayah robot. Ternyata sang robot dan otak adiknya merupakan aset terbesar dari Sentre yang mengirim seorang pemburu handal bernama Marshall (Esposito) untuk membawanya pulang.

Dari ringkasan cerita di atas sudah tampak kisahnya yang berbelit. Plotnya memang serba tidak jelas. Motif dan argumen (eksposisi) karakternya juga tidak terjelaskan dengan rapi. Semua serba bergegas dan seolah berjalan tanpa arah. Michelle seolah tak butuh berpikir panjang untuk melakukan segala aksinya tanpa memperhitungkan resiko. Semua penyelesaian masalah, tahu-tahu muncul di hadapan mereka, tanpa latar yang jelas. Rasanya seperti menonton film anak-anak yang tak perlu banyak pikir. Lantas apa masalahnya? Tentu saja kualitas penulisnya! Penulis naskahnya adalah dua penulis yang menggarap Infinity War dan Endgame yang brilian dan kompleks, bagaimana mungkin ini bisa terjadi para proyek sebesar ini.

Baca Juga  Underworld: Awakening

Di luar bayaran para bintangnya, satu hal yang jelas membuat bujetnya begitu besar adalah efek visualnya. CGI-nya begitu halus sehingga para robot terlihat sangat nyata. Ratusan robot dengan ukuran bervariasi, dari sebesar telapak tangan hingga seukuran godzilla, bisa dikreasi dengan begitu mudahnya. Pun demikian dengan menara-menara Sentre yang ada di seluruh penjuru kota di bumi, bisa terlihat begitu natural. Adegan klimaks menghebohkan yang mereplika segmen pamungkas Endgame disajikan begitu hingar bingar dan meyakinkan. Tapi apalah arti segala kemegahan visual tanpa cerita yang memadai? Para robot terlihat begitu hidup, namun tanpa jiwa. Demikian pula dengan sosok karakter manusianya. Tak ada emosi dan chemistry antara mereka dengan penonton. Alur plot mengalir begitu cepat hingga segalanya terasa terburu-buru. Komposer Alan Silvestri yang juga menggarap score Endgame pun tak mampu mengangkat filmnya.

The Electric State adalah antitesis dari semua karya besar yang pernah diproduksi Anthony dan Joe Russo, khususnya aspek naskah. Alur plotnya mudah diantisipasi hingga bahkan segmen dialog pun seperti lelucon yang membodohi karakternya sendiri. Entah apa yang dipikirkan para pembuat film dan penulis naskah besar sekelas mereka. Film ini adalah sebuah kasus menarik untuk didebatkan melihat track record mereka dan sangat tidak sepadan dengan bujet yang begitu besar.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
40 %
Artikel SebelumnyaIn the Lost Lands | REVIEW
Artikel BerikutnyaSnow White | REVIEW
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses