The Flash merupakan film tersisa dari DC Extended Universe yang segera akan berakhir. Film ini adalah seri ke-13 dari semesta sinematiknya. Uniknya, The Flash diarahkan oleh Andy Muschietti yang sebelumnya sukses menggarap film horor Mama dan seri It. Film ini masih dibintangi regulernya, Ezra Miller, Ben Affleck, serta didukung pula Michael Keaton, Sasha Calle, Michael Shannon, dan Ron Livingston. Keaton kembali bermain sebagai Batman setelah lebih dari 30 tahun yang lalu muncul dalam Batman Returns (1992). Konsep multiverse adalah biang keladinya, yang kini tengah tren pula dalam semesta sinematik pesaing mereka (Marvel). Akankah konsep ini kini mampu digunakan dengan bijak?
Barry Allen (Miller) kini tengah menghadapi masalah berat yang menimpa ayahnya di pengadilan setelah ibunya tewas sewaktu ia kecil. Di sela-sela aksinya menumpas kejahatan bersama Justice League, suatu kali Barry menyadari bahwa dengan kecepatan supernya ia mampu menembus masa lalu. Bruce Wayne (Affleck) memperingatkan Barry untuk tidak bermain-main dengan waktu. Petuah sobatnya diabaikan hingga Barry terjebak dalam satu timeline waktu di mana dirinya yang lain juga eksis. Di timeline ini pula, Jendral Zod kini tengah menginvasi bumi. Dua Barry kini mencoba membantu satu sama lain ketika meta human rupanya tidak eksis, kecuali Batman (Keaton) yang kini telah pensiun.
Bermain-main dengan konsep multiverse memang penuh resiko. Plot The Flash sendiri sebenarnya bukan hal baru karena dalam versi animasi panjangnya Justice League: The Flashpoint Paradox (2013) juga telah disajikan dengan plot lebih berkelas. Naskahnya kini tampak sedikit memaksa dengan minimnya eksposisi motif sang protagonis. Barry memang menerima konsekuensinya dan ia belajar dari kesalahan, namun bermain dengan konsep multiverse adalah bak pisau bermata dua. Eksekusi ending-nya justru memantik banyak pertanyaan baru dengan menyia-nyiakan plot utama pada semesta alternatifnya. Lalu apa arti semua plot sebelumnya? Namun di mata pisau lainnya, sosok Batman (Keaton) justru tampil amat memesona.
Bagi yang sudah menonton seri Batman versi Tim Burton, segala hal tentangnya ada dalam The Flash. Michael Keaton rupanya masih memiliki karisma yang mengesankan sebagai sosok Bruce Wayne, sama persis film-film terdahulunya. Setelah film ini, tidak bakal ada yang menyangkal jika ia adalah sosok Batman terbaik selama ini. Keaton terlihat benar-benar menikmati peran masa lalunya dengan beberapa line memorable setiap kali kemunculannya. Untuk aksinya, bisa jadi ini adalah aksi Batman terbaik yang pernah ada. Musik tema Batman – Burton yang monumental (Danny Elfman) begitu kuat mengiringi aksi-aksinya sepanjang film. Bulu kuduk saya sampai merinding. Ini sungguh membawa sensasi nostalgia yang luar biasa. Ini serasa membawa saya ke timeline 30 tahun lalu ketika menonton Batman Returns di bioskop. Keaton jelas masih mampu melakoni sosok Bruce Wayne dengan memesona, mengapa tak pernah lagi mendapat kesempatan?
The Flash adalah denyut akhir DCEU yang masih saja menampilkan naskah buruk dengan motif cerita lemah, namun tidak untuk sosok Batman (Keaton), selain sisi nostalgia adalah penampilan terbaik Batman sepanjang sejarah genrenya. Di luar kelemahan naskahnya, Ezra Miller yang bermain sebagai dua karakter Barry Allen juga tidak bermain buruk. Sementara sosok super DCEU-nya lainnya dengan segenap cameo-nya masih kalah karisma dengan sosok Kara alias Supergirl yang diperankan Sasha Calle. Sayang sosok Kara tak banyak dieksplorasi lebih jauh. The Flash melalui sosok Batman (Keaton) bisa jadi mencuri perhatian penonton dan fans versi Burton. Apa mau dikata, DCEU akan segera berakhir. Dengan menyisakan satu film: Aquaman 2, kini apa yang bisa menyelamatkan semesta sinematiknya?