The Garfield Movie (2024)
101 min|Animation, Adventure, Comedy|24 May 2024
5.7Rating: 5.7 / 10 from 19,074 usersMetascore: N/A
After Garfield's unexpected reunion with his long-lost father, ragged alley cat Vic, he and his canine friend Odie are forced from their perfectly pampered lives to join Vic on a risky heist.

Sosok Garfield tercatat adalah sosok kucing paling ikonik dalam budaya populer era modern yang merupakan kreasi Jim Davis. Kucing oranye tukang makan ini sudah ada sejak akhir dekade 1970-an yang ilustrasinya menghiasi surat kabar di AS. Serial televisi hingga film panjangnya telah diproduksi beberapa kali, belum terhitung merchandise dalam bentuk mainan, boneka, hingga video gim. Kini, mengekor sukses ikon mainan lawas dalam medium film, sebut saja Mario Bros hingga Barbie, Garfield kembali diangkat ke layar lebar dalam bentuk film animasi 3D melalui The Garfield Movie.

The Garfield Movie digarap oleh Mark Dindal. Dindal adalah sineas senior yang dulu menggarap beberapa animasi Disney, sebut saja Emperor New Groove (2000) serta Chicken Little (2005). Film ini diisi suara oleh sederetan bintang besar, sebut saja Chris Pratt, Samuel L. Jackson, Hannah Waddingham, Ving Rhames, Nicholas Hoult, Cecily Strong, hingga Snoop Dog. Apakah film animasi berbujet USD 60 juta ini mampu bersaing dengan film-film populer sejenis yang digarap oleh para studio pesaingnya yang jauh lebih mapan?

Garfield (Pratt) adalah kucing rumahan yang hidup tentram bersama sang majikan, Jon (Hoult). Hari-hari sang kucing ditemani sahabat setianya, seekor anjing bernama Odie. Suatu ketika, Garfield dan Odie diculik oleh dua ekor anjing liar, Rolan dan Nolan yang ternyata anak buah dari si kucing betina jahat, Jinxs (Waddingham). Si kucing rupanya ingin balas dendam dengan Vic (Jackson) yang juga ayah kandung dari Garfield yang dulu pernah menelantarkannya. Jinxs lalu memberi kesempatan untuk mengampuni sang ayah jika mereka bertiga bisa mencuri satu truk berisi susu milik peternakan Lactose. Petualangan pun dimulai.

Baca Juga  Crimson Peaks

Jika mau dibandingkan dengan film animasi seri The Secret Life of Pet atau Bolt yang juga berkisah tentang hewan peliharaan, Garfield jelas jauh di bawah keduanya. Problem terbesar Garfield adalah selera humornya yang datar dan kadang absurd. Kisahnya sederhana dan gamblang, pesannya pun juga masih tak jauh dari tema keluarga dan pertemanan, seperti kebanyakan film animasi. Namun, sisi komedinya yang rada berlebihan justru sulit untuk bisa berempati dengan sosok protagonisnya. Bukan sosok sang kucing dan karakter lainnya yang justru kita rasakan (empati), namun adalah para bintang yang mengisi suaranya. Sosok Garfield terasa hilang tergantikan suara vokal kuat sang aktor (Pratt). Tak ada satu tokoh pun yang tampil menggigit, seperti sosok si kelinci bawel Snowball dalam The Secret Life of Pet. Sam Jackson yang biasanya tampil garang dan sering mengumpat, kini tampil lebih soft sebagai Vic.

The Garfield Movie menderita dari film-film animasi senada yang jauh lebih superior dari banyak aspeknya, di luar popularitas sang kucing legendaris. Bicara tampilan visualnya pencapiannya jelas tak buruk, namun jelas masih di bawah para pesaingnya, terlebih Studio Pixar dan Dreamworks Animation. Padahal DNEG, studio pembuat animasinya, terlibat dalam efek visual franchise-franchise raksasa, sebut saja Harry Potter, Fast & Furious, MCU, hingga DCEU.  Walau begitu, tercatat satu segmennya, ketika sang kucing beraksi di gerbong kereta api terhitung cukup menghibur dan mengundang tawa banyak penonton. Sebagai tontonan bioskop, film ini memang lebih tepat untuk anak-anak ketimbang orang dewasa. Entah bagi para fans fanatiknya, karena saya sendiri bukan.

1
2
PENILAIAN KAMI
overall
50 %
Artikel SebelumnyaAtlas
Artikel BerikutnyaX-Men ‘97
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.