the gesuidouz

The Gesuidouz adalah film komedi bertema musik produksi Jepang yang diarahkan dan ditulis oleh Kenichi Ugana. Kenichi sebelumnya sudah malang melintang di sirkuit festival film melalui feature dan kompilasi film pendek. Film ini dibintangi oleh Natsuko, Leo Imamura, Yutaka Kyan, Rocko Zevenbergen, dan Yuya Endo. The Gesuidouz memulai debut tayangnya di Toronto International Film Festival dan di beberapa ajang festival termasuk Jogja-Netpac Asian Film (JAFF) Festival akhir tahun lalu. Dalam Jeonju IFF 2025, film ini diputar dalam sesi Cinema Fest di beberapa lokasi pemutaran.

The Gesuidoz adalah grup band punk rock yang beranggotakan Hanako (Natsuko), Masao (Imamura), Ryuzo (Kyan), dan Santaro (Zavenberg). Grup band ini nyaris tidak memiliki penggemar, show pun tidak pernah dihadiri penonton, kecuali seorang fans loyal. Sang produser yang merugi lantas mengirim mereka ke wilayah pedesaan untuk mencari inspirasi. Selama tinggal di sana dan beradaptasi dengan suasana desa, mereka justru menemukan identitas, khususnya Hanako yang meyakini bahwa dirinya bakal meninggal (setahun lagi) pada usia 27 tahun, seperti halnya legenda rock, Jim Morrison dan Kurt Cobain.

Di arena mainstream, film-film biopic musik sudah terlalu jamak dan banyak di antaranya yang sukses secara kritik, sebut saja Walk the Line, Bohemian Rhapsody, Elvis, hingga baru lalu, A Complete Unknown. Formula plotnya selalu sama, menyajikan perjalanan karir mereka sejak nol hingga sukses. Dengan format senada, The Gesuidoz tampil beda dengan menampilkan grup musik fiktif yang dikemas unik melalui gaya melawan kelaziman, seperti halnya semangat musik punk rock. Absurd dan nyeleneh adalah ekspresi kata yang sempurna untuk mewakili perjalanan plotnya.

Gelagat keanehan sudah tampak sejak awal pada adegan pembuka. Seluruh member band rock ini memiliki karakter layaknya tokoh dalam komik (manga). Musik mereka tak lazim (vokalis hanya menjerit-jerit tanpa lirik) dan keseharian karakter dan polah masing-masing membernya pun juga sama lebay-nya. Dari gaya berjalan, cara berkomunikasi (jarang menggunakan dialog), pakaian, tidur, makan, hingga apa pun, semua serba terlihat canggung dan spontan. Sederhananya, mereka suka jadi diri sendiri tanpa memedulikan orang lain.

Walau bisa jadi tak nyaman di mata penonton awam karena ritme dan tone yang tak biasa, para cinephile bisa jadi justru malah bergairah, terusik, hingga tertawa geli. Celotehan tentang film horor sering kali bermunculan, khususnya Hanako yang adalah fans berat film horor Barat. Bahkan dalam musik mereka, liriknya berisi judul film (misal Saw), nama antagonis (Freddie Kruger), hingga nama para sineasnya (George Romero). Hal yang sama juga dari sisi musik, nama-nama musikus besar seringkali terlontar dari mulut Hanako. Pernik dan poster film horor hingga para pemusik rock legendaris ditempel di seluruh ruangan di dalam rumah.

Baca Juga  Bolehkah Sekali Saja Kumenangis

Tercatat satu teknik montage mencuri perhatian. Jika masih kamu ingat montage dalam Bohemian Rhapsody ketika para member band berproses mencipta sebuah lagu masterpiece, The Gesuidoz memiliki proses “berkelas” dengan gaya nyeleneh. Montage berfokus pada karakter Hanako yang mencoba mencari melodi dan lirik yang tepat untuk lagunya. Kita hanya hanya geleng-geleng kepala melihat polah sang karakter, mencoret-coret tulisan (lirik) hingga berkeliling ruangan bak orang gila sembari meremas rambutnya. Ketika ia mendapat ide untuk drum, suara drum pun mengiringi, diikuti suara bas, lalu gitar yang muncul satu demi satu, hingga akhirnya memperlihatkan Natsuko yang frustasi karena belum menemukan lirik bagi musiknya. Hanako yang diperankan aktris Natsuko tampil all out dan sangat ekspresif adalah bintang utama dan jantung dalam kisah The Gesuidouz.

Lalu apa maksud dari semua kegilaan dan kekonyolan ini? Jawaban dari semua ini, sayangnya terlalu gamblang terlontar dalam dialog dan lirik lagunya. Coba simak dialog sang nenek pada Natsuko:

“You can make music, so what’s wrong with that? Its hard to understand, what’s good about your song but it’s amazing to be able to create something that others don’t understand at all. I’m sure there is somewhere in the world who would be struck by your song more than anyone else.”

Lirik musiknya (video musik terlampir di bawah) pada segmen klimaks, jauh lebih gamblang lagi, yang membocorkan pesannya secara mentah-mentah. Ini bukan masalah, namun ini sedikit mengurangi value artistik yang sudah dibangun demikian unik untuk mengusung pesannya. Tanpa dialog dan liriknya tersebut pun, kita sudah menerima dengan sangat baik.

Perpaduan kisah dan estetika yang unik dan absurd, The Gesuidouz memelintir subgenrenya (music biography-fiction) dengan kekacauan dan keindahan yang hadir bersamaan. Film ini bisa jadi bukan yang terbaik di subgenrenya, namun adalah salah satu yang terunik dan aneh. Bagi para fans horor sekaligus musik punk rock, bisa jadi menonton The Gesuidoz adalah satu pengalaman terbaik dalam hidupmu. Saya justru penasaran dengan film-film karya sang sineas lainnya, apakah memiliki sentuhan dan eksplorasi senada. Telantanya jelas tidak bisa dianggap remeh.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
80 %
Artikel Sebelumnya1978 | Jeonju IFF 2025
Artikel BerikutnyaMendadak Dangdut | REVIEW
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses