Yogyakarta memang kota romantis yang tiap sudutnya memiliki kisah tersendiri. Suasananya mampu mengajak banyak orang untuk terus berkunjung ke kota ini. Baik sekedar menikmati liburan, tinggal sementara, ataupun menetap. Banyak tempat wisata kekinian yang indah untuk dipandang, namun hal itu tidak membuat sutradara andalan Indonesia, Hanung Bramantyo, menjadi norak untuk menyajikan Yogyakarta ke dalam film The Gift. Film yang digarap bersama Seven Sunday Films ini telah dirilis terlebih dahulu di ajang Jogja-Netpac Asian Film Festival tahun lalu.
The Gift menceritakan kisah cinta Tiana, seorang novelis yang menyewa sebuah paviliun sebagai tempat untuk menulis novel barunya. Sang pemilik, Harun, memiliki sikap unik dan aneh sekaligus bikin gereget untuk terus dekat. Setelah terganggu dengan suara musik yang keras dari si pemilik paviliun, Tiana memiliki kesempatan untuk lebih akrab. Namun, kedekatan mereka terhalang dengan keterbatasan Harun yang tunanetra. Di saat Harun menginginkan Tiana untuk terus dekat bersamanya, sosok Arie pun muncul. Teman baik Tiana sejak kecil ini menagih janji untuk meminang Tiana di usia ke-30 tahun. Tiana pun berhadapan dengan dilema.
Sejak awal film, shot yang disajikan sudah membuat saya merasa bahwa film ini menyuguhkan sesuatu yang berbeda. Film ini pasti layak dinikmati hingga akhir kisahnya. Untung saja, tisu selalu tersedia di tas. Sehingga saya bebas menangis sedih dan terharu di kursi paling belakang. Tidak berlebihan rasanya jika saya meneteskan air mata akibat terbuai kisah cinta ini. Adegan demi adegan disajikan dengan tempo yang pas. Tidak terlalu lambat, tidak juga terlalu cepat hingga adegan menjadi kurang bermakna. The Gift yang ceritanya dibuat oleh Anirudhya Mitra dan Hanung Bramantyo ini memang tampak seperti serba kebetulan jika kita mau menilainya secara kritis, namun naskah yang ditulis Ifan Ismail membuat alur ceritanya tetap bisa dinikmati dengan logika romantisme.
Jujur saja, saya berpikir jika The Gift digarap dengan cara yang berbeda, mungkin saja film ini tampak muluk-muluk. Hanya sekedar kisah cinta yang film banget, diawang-awang, sangat imajiner. Tetapi selain teknik penyajian ceritanya, teknik pengambilan gambar, pengadeganan, akting, musik, serta properti yang ditampilkan sangat mendukung kualitas filmnya menjadi lebih bernilai dan layak untuk bersaing di taraf internasional. Film ini digarap dengan matang, menambah kebanggaan saya akan film-film Indonesia dari daftar film terakhir yang saya tonton, salah satunya Love for Sale.
Di antara banyaknya film yang mengumbar keindahan alam, The Gift menggambarkan keindahan Yogyakarta dan Italia secukupnya. Sebatas kebutuhan setting yang sesuai saja. Tidak lalu menjadikan film seperti ajang promosi lokasi wisata yang berguna menambah durasi atau hanya sekedar menjadi pemanis yang meningkatkan nilai kemegahan.
Meskipun sudah mulai bosan melihat sosok Reza Rahadian yang hadir di banyak film, namun ia faktanya bermain sangat apik sebagai pria buta. Tidak diragukan. Mungkin saja memang hanya dia yang pantas memerankan lakonnya hingga saya tahan saja rasa bosan ini. Pilihan yang cukup fresh untuk menempatkan Ayushita sebagai pemeran utama, meskipun tidak mengundang banyak kekaguman atas kemampuan aktingnya di sini, tapi dia bermain dengan cukup baik. Tidak banyak komentar untuk Dion Wiyoko. Tetapi kehadiran Christine Hakim membuat saya merasa ada rasa rindu yang terbayar.
Menikmati film ini hingga akhir, membuat saya merasakan sebuah kelegaan. Akhirnya, ada sebuah film yang mampu menggambarkan kemungkinan lain yang bisa dilakukan oleh seorang perempuan ketika dihadapkan pada suatu kondisi percintaan yang rumit. Pengorbanan serta keikhlasan pun menjadi pilihan, ketika cinta memang harus dibayar dengan cinta.
Debby Dwi Elsha
WATCH THE TRAILER