Movie Poster

Sutradara: Peter Sohn
Produser: Denise Ream
Penulis Naskah: Meg LeFauve
Pemain: Raymond Ochoa/Jack Brigth/Sam Elliot/Anna Paquin/Jeffrey Wrigth/Frances McDormand/Steve Zahn
Editing: Stephen Schaffer
Ilustrasi Musik: Michael & Jeff Danna
Studio: Walt Disney Pictures/Pixar Animations Studios
Distributor: Walt Disney Studios Motion Pictures
Durasi: 100 menit
Bujet: US$ 175-200 juta

Setelah sukses komersil dan kritik film animasi Inside Out beberapa bulan silam, Pixar untuk pertama kalinya merilis film produksinya dua kali dalam setahun melalui The Good Dinosaur. Agak mengherankan memang melihat dua film tersebut sama-sama berbujet raksasa namun kita disini tidak untuk membahas strategi marketing mereka tapi soal cerita dan pencapaian visualnya. Pixar seperti kita ketahui tidak pernah gagal secara komersil serta mampu memproduksi karya-karya animasi terbaik yang pernah ada. Tidak seperti Inside Out kali ini Pixar lebih menjual gambar ketimbang cerita walau kisahnya sangat cocok untuk anak-anak.

The Good Dinosaurus mencoba berandai-andai apa yang terjadi jika meteor tidak menabrak bumi jutaan tahun yang lalu dan film ini mengambil latar waktu satu juta tahun setelahnya. Dikisahkan satu spesies Dino memiliki intelejensia yang cukup untuk membuat tempat tinggal menatap bahkan bertani secara sederhana untuk mencukupi kebutuhan pangan mereka. Si Dino mungil, Arlo, lahir di tengah keluarga Dino yang harmonis dengan ayah, ibu, dan dua saudaranya, Buck dan Libby. Arlo yang terlahir kecil, lemah, dan penakut tidak seperti dua kakaknya, berusaha keras untuk mendapatkan pengakuan dari sang ayah. Ketika satu tugas dari sang ayah untuk menangkap bocah cilik pencuri di lumbungnya gagal, peristiwa tragis terjadi, dan Arlo bersama sang bocah, Spot, harus bahu membahu untuk bisa kembali ke kampung halaman mereka.

Tidak seperti biasanya, kali ini Pixar mengambil kisah sangat sederhana dan fokus cerita hanya pada Arlo dan Spot, tanpa banyak karakter lain yang terlibat. Kisahnya memang biasa dan sudah beberapa kali kita jumpai dalam film animasi sejenis namun sisi kehangatan keluarga dan persaudaraan masih terasa kental. Perjalanan tersebut tidak hanya sebagai uji keberanian untuk Arlo tapi sekaligus uji mental bagi mereka berdua untuk bisa lepas dari masalah. Satu segmen menyentuh di akhir kisah menjadi bukti jika Arlo sudah lebih dari apa yang diinginkan sang ayah. Sebuah kisah yang ringan sangat mendidik dan mencerahkan untuk keluarga khususnya anak-anak.

Baca Juga  The Lion King

Bicara soal gambar atau pencapaian visualnya sejauh ini tidak ada bisa yang menandingi The Good Dinosaur. Dijamin Anda akan tercengang dan terpesona. Panorama pegunungan, hutan, bukit, tebing, sungai dan bebatuan, bersama flora-faunanya tersaji begitu natural dan detil nyaris seperti aslinya. Sangat mengesankan dan amat sejuk dipandang mata. Nyaris semua gambar dari sudut manapun tampak begitu sempurna sulit untuk ditandingi film animasi manapun. Tampak teknologi rekayasa digital sudah sedemikian tinggi hingga tidak heran jika tidak ada yang tidak mungkin dilakukan setelah ini. Bisa jadi kisahnya yang ringan memang ditujukan agar penonton lebih bisa menikmati panorama dunia animasi yang sangat luar biasa indah ini.

The Good Dinosaurus dengan kisahnya yang konvensional memang bukanlah seperti film-film masterpiece produksi Pixar sebelumnya namun pencapaian visualnya adalah yang terbaik yang pernah ada. Film animasi ini adalah hiburan yang sempurna untuk keluarga dengan pesan-pesan yang mudah dimengerti anak-anak. Satu lagi film animasi pendek, Sanjay’s Super Team, sebagai pembuka film panjangnya, amat sayang jika dilewatkan. Dikemas sangat unik dengan pesan brilyan melalui nuansa timur yang kental.

MOVIE TRAILER

https://www.youtube.com/watch?v=daFnEiLEx70

PENILAIAN KAMI
Total
90 %
Artikel SebelumnyaVictor Frankenstein
Artikel BerikutnyaPoint Break
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses