Quentin Tarantino memang selalu menarik perhatian dengan film-filmnya yang bergaya khas, baik terhadap perlakuan cerita maupun sisi sinematik (baca edisi: Quentin Tarantino). Saya memang tidak pernah menyukai tema film-film Tarantino namun sangat terkesan dengan cara ia mengemas filmnya, khususnya dua film awalnya, serta Inglorious Basterds. Film ke-8 nya ini juga masih kental dengan gaya yang sama dan tidak seperti sebelumnya kali ini ia mencoba menggunakan kamera film 70mm yang biasa digunakan untuk format IMAX. Filmnya ini juga terinspirasi dari film-film seri tv western tahun 60-an.
Alkisah seorang pemburu hadiah, John Ruth (Kurt Russel) membawa wanita buron, Daisy Domergue (Jennifer Jason Leigh) ke kota Red Rock untuk diserahkan ke pihak berwenang. Di tengah badai salju, kereta kuda tersebut dicegat oleh Marquis Warren (Samuel L. Jackson), seorang negro pemburu hadiah, mantan serdadu perang sipil, yang juga ingin membawa jasad tiga buronannya ke Red Rock. Penumpang bertambah satu lagi ketika, Chris Mannix (Walton Goggins), yang mengaku sheriff baru Red Rock. Badai salju membuat mereka terjebak di tempat transit, Minnie’s Haberdashery. Ditambah empat orang yang telah ada ditempat tersebut, delapan orang tersebut memiliki kepentingannya masing-masing, dan diduga satu diantara mereka ingin membebaskan Daisy.
Gaya bertutur Tarantino menggunakan chapter (babak) kembali ia gunakan di filmnya ini. Filmnya terbagi atas 6 chapter dari film berdurasi 167 menit ini. Tarantino juga menggunakan penuturan “nonlinier” namun sayangnya dikemas menjadi flashback. Andai segmen tersebut tidak perlu diberi keterangan, “earlier…. “ mungkin terasa lebih pas, dan penonton pasti akan tahu semua adegan tersebut terjadi sebelumnya. Tarantino juga menjadi narator dalam beberapa adegan, seperti awalan segmen babak 4: “Domergue Got a Secret” untuk menjelaskan sebuah informasi penting. Agak tidak lazim memang karena biasanya Tarantino tidak pernah melakukan ini. Diatas semuanya, Tarantino tetap Tarantino, gayanya yang khas khususnya unsur dialog, kali ini amat sangat dominan.
Bagi orang awam pasti film ini amat sangat membosankan karena unsur dialog yang menjadi kekuatan film-film Tarantino dieksplor secara maksimal oleh sang sineas. Dialog intelek dan cerdas dan kadang tema sepele bisa jadi bahasan besar. Semua adegan terdapat dialog panjang dan memang enak untuk kita nikmati namun sayangnya, Tarantino kali ini terlalu “Tarantino”. Saya merasakan semua dialog yang keluar dari semua karakter terasa keluar dari satu orang, yakni Tarantino. Gejala ini sebenarnya sudah tampak di film-film sebelumnya namun karena kali ini semua adegan adalah dialog maka lebih terasa. Bagi penonton yang sudah tahu betul Tarantino bisa jadi merasakan ini. Terlebih sebagian pemain sudah pernah bermain di film Tarantino sebelumnya, sebut saja Jackson, Madsen, Roth, dan Russel. Iya benar, memang ini sudah menjadi gayanya namun lama kelamaan terasa ada yang janggal ketika semua orang dalam karakter mendadak pintar berbicara. Tidak mungkin semua orang dalam filmnya punya kemampuan dialog secanggih Marquis.
Dialog yang menjadi dominasi filmnya jelas tidak mungkin berhasil tanpa permainan akting yang memadai. Pemain reguler Tarantino, Jackson, Russel, dan Roth, saya pikir sudah tidak perlu komentar jauh karena mereka bermain sangat baik. Pemain yang mencuri perhatian jelas, Walton Goggins yang bermain sebagai Chris Mannix, sang sherrif yang lugu dengan logat Texas yang khas. Satu kasting yang menurut saya ganjil adalah Channing Tatum, karakternya terlalu datar dan kurang ekspresif. Wajahnya pun terlalu “modern” untuk setting kisahnya dan berbeda dengan tokoh-tokoh lainnya. Dominan adegan dialog serta lokasi dominan di satu tempat membuat pergerakan dan posisi pemain yang jumlahnya cukup banyak adalah satu faktor yang patut diapreasiasi lebih.
Bukan Tarantino jika tidak ada adegan aksi sadis. Di filmnya kali ini Tarantino benar-benar bermain di level kekerasan yang diatas rata-rata film-film sebelumnya. Kill Bill Vol.1 memang banyak adegan darah namun masih terasa komikal, berbeda dengan kali ini yang terasa lebih realistik. Sayang pada banyak adegan sadis, guntingan sensor terasa sangat kasar dan amat sangat menggangu. Tidak seperti lazimnya, dari sisi sinematografi kali ini sang sineas banyak mengambil gambar-gambar indah panaroma pemandangan dan seringkali berlama-lama menahan shot-nya seperti pada adegan opening credit, shot pembuka filmnya. Terakhir, bisa jadi yang terpenting adalah ilustrasi musik oleh komposer kawakan, Ennio Morricone yang sempurna dalam menghidupkan semua adegannya dengan tone western yang menjadi ciri khasnya dengan kombinasi nuansa misteri.
The Hateful Eight memang masih milik Tarantino namun film ini jelas bukan filmnya yang terbaik. Pendekatan seni panggung memang mengeksplorasi kemampuan sang sineas dalam mengolah dialog. Semua karakter penuh misteri dengan latar yang berbeda sehingga mampu membawa penonton ke dalam situasi tak terkontrol dengan segala kemungkinan bisa terjadi. Tarantino tetaplah Tarantino. Filmnya selalu unik dan selalu membawa sesuatu yang baru dalam perjalanan karirnya. Baik atau buruk film-film Tarantino akan selalu ditunggu.