The House with a Clock in Its Walls (2018)
105 min|Comedy, Family, Fantasy|21 Sep 2018
6.1Rating: 6.1 / 10 from 55,767 usersMetascore: 57
A young orphan named Lewis Barnavelt aids his magical uncle in locating a clock with the power to bring about the end of the world.

The House with a Clock in Its Walls adalah film fantasi arahan Eli Roth yang diadaptasi dari novel klasik berjudul sama karya John Bellairs. Film ini dibintangi dua bintang papan atas, yakni Jack Black, Cate Blanchett dan bintang cilik, Owen Vaccaro. Setelah beberapa film adaptasi novel fantasi anak-anak klasik terbilang gagal komersial, rupanya para pembuat film masih belum kapok untuk mencoba peruntungannya.

Alkisah Lewis adalah bocah yatim piatu yang diambil hak asuhnya oleh pamannya, Jonathan. Tak disangka, ternyata sang paman adalah seorang penyihir (warlock) yang memiliki rumah yang penuh jam dinding di semua dinding rumah tuanya. Jonathan memiliki tetangga sekaligus sahabatnya, Florence yang juga sesama penyihir. Lewis lalu belajar sihir dari sang paman, namun Jonathan sendiri ternyata menyimpan rahasia besar di rumah tua tersebut yang bisa membuat malapetaka bagi umat manusia.

Lagi, satu masalah besar dalam alur kisahnya adalah adaptasi dari sumber aslinya. Tempo plotnya yang relatif cepat di segmen pembuka, tak cukup untuk membuat penonton untuk bisa mengenalkan tokoh-tokohnya lebih dalam. Bagi penonton awam, segmen cerita terasa sedikit melompat dari adegan satu ke adegan lainnya tanpa mampu memberikan penjelasan dan latar cerita yang cukup. Alhasil, sisi misteri yang sebenarnya disajikan menarik menjadi kurang menggigit, memaksa, dan mudah diantisipasi. Semua penonton pasti tahu apa yang kelak bakal terjadi, ketika sang paman berkata pada Lewis, “Pokoknya kamu jangan membuka lemari ini?!”. Sayang sekali karena dialog-dialog pada film ini sejatinya disajikan begitu elegan, puitik, dan cerdas.

Baca Juga  Pirates of the Carribean: Salazar’s Revenge

Dari titelnya saja sudah jelas jika film fantasi ini bakal punya nilai lebih di sisi setting, efek visual, dan efek suara. Walau tak sekelas Harry Potter, tapi cukuplah untuk level produksinya. Suara detak (kadang: dentuman) jam dinding mendominasi sepanjang filmnya sehingga memberikan nuansa yang amat unik. Satu lagi keunggulan filmnya adalah para kasting utamanya. Dialog-dialog menawan yang terlontar amat mendukung akting para pemainnya, khususnya Black dan Blanchett. Sayangnya, tempo plot yang cepat menciderai chemistry di antara mereka bertiga yang sebenarnya sudah terjalin bagus.

Aneh dan sedikit absurd, The House with a Clock in Its Walls menyajikan atmosfir serta setting yang memukau dengan dukungan kuat  para pemain utamanya, namun kisahnya terasa membingungkan bagi penonton yang tak membaca sumber aslinya terlebih anak-anak yang menjadi targetnya. Film bergenre fantasi sejenis, sejak seri Harry Potter telah berusaha keras untuk menemukan performa bagus di ranah box-office. Novel klasik yang populer tidak lantas menjamin filmnya bakal laris jika tidak diimbangi formula cerita yang tepat untuk penontonnya. Kegagalan komersial The Golden Compass, serta baru-baru ini, Goosebumps dan Wrinkle in Time adalah contoh bagus bagaimana genre fantasi memang gampang-gampang susah. Kalau mau buat, jangan tanggung-tangung, itu kuncinya.

WATCH TRAILER

PENILAIAN KAMI
Overall
50 %
Artikel SebelumnyaBisikan Iblis
Artikel BerikutnyaBuku Kompilasi Buletin Film Montase Terbit!
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.