Seri The Hunger Games kita tahu adalah trilogi sci-fi yang sukses fenomenal melalui 4 filmnya dengan meraih nyaris USD 3 milyar. Penulis novelnya, Suzanne Collins menulis pula kisah prekuelnya The Hunger Games: The Ballad of Songbirds & Snakes (2020) yang filmnya telah diproduksi dan kini rilis. Film prekuel ini masih disutradarai  sineas tiga seri terakhirnya, Francis Lawrence. Bermain dalam film ini, antara lain Tom Blyth, Rachel Zegler, Peter Dinklage, Hunter Schafer, Josh Andrés Rivera, serta Viola Davis. Akankah seri ini bakal menuai sukses seperti pendahulunya? Untuk situasi saat ini rasanya tidak mudah.

Kisahnya terjadi 64 tahun sebelum seri pendahulunya, diceritakan Hunger Games kini telah diadakan untuk kesepuluh kalinya di wilayah Panem. Dalam plotnya, Coriolanus Snow (Blyth)-kelak Presiden Snow- kini menjadi mentor salah satu peserta Hunger Game yang berasal dari distrik 12, yakni Lucy Gray Baird (Zegler). Plotnya mengisahkan bagaimana relasi antara Snow dengan Lucy, di mana sang mentor berusaha keras untuk membantu agar sang gadis tetap hidup sepanjang permainan. Sementara kepala permainan, Dr Volumnia Gaul (Davis) rupanya memiliki agendanya sendiri.

Berbeda dengan seri-seri sebelumnya yang terfokus pada aksi brutal permainannya, plotnya kali ini lebih terfokus pada sosok Snow dan Lucy, baik di dalam dan di luar permainan. Bicara soal game-nya, tak jauh beda pula dengan aturan main sebelumnya, hanya saja kali ini jauh lebih sederhana. Lokasinya pun hanya dalam sebuah bangunan besar tanpa banyak tempat untuk bersembunyi melalui pengawasan teknologi sederhana, macam kamera CCTV hingga drone. Tak banyak aksi-aksi brutal dan ketegangan hebat yang ditawarkan seperti sebelumnya walau visualisasi pengadeganannya sangat baik.

Jika kamu masih ingat, kita tahu persis bagaimana lalimnya Presiden Snow pada seri pendahulunya. Plot prekuelnya secara ringkas memaparkan bagaimana transisi sosok Snow muda yang ambisius menjadi kelak diktator bengis. Apa yang memicu perubahan besar ini? Saya tidak tahu persis bagaimana kisah novelnya, namun dalam film ini terasa banyak hal yang tak jelas dan inkonsistensi sikap dari Snow muda. Lucy jelas adalah faktor besarnya, namun di sisi lain Snow juga masih memikirkan nenek dan adiknya. Chemistry roman antara Snow dan Lucy yang seharusnya menjadi poin inti tak tergarap lugas dan tegas. Entah ini masalah cerita novel atau naskahnya, namun sisi romannya terasa tanggung dan hambar. Lucy terkesan bakal menjadi tumbal dari matinya sisi manusiawi Snow, namun ternyata tidak. Lantas apa lagi yang membuat pikiran Snow berubah jika bukan ini?

Baca Juga  Blink Twice

The Hunger Games: The Ballad of Songbirds & Snakes mengisahkan sebuah prekuel yang secara visual mengagumkan, namun tidak memiliki kisah mengakar dan menyentuh sebagai pengantar seri besarnya. Sebelum menonton, saya pikir kisahnya bakal lebih pada proses bagaimana permainan edan ini dimulai, alias debut Hunger Game. Ya, mungkin senada dengan seri The Purge, The First Purge (2018). Namun setidaknya, film prekuel ini menjawab pertanyaan tentang lahirnya permainan ini, dan Snow muda menjawabnya dengan lugas pada penghujung kisah. Kekerasan adalah bak api yang seharusnya dipadamkan. Kekerasan tidak bisa dilawan dengan kekerasan atau aksi brutal lainnya. Sampai kapan pun pertikaian ini tak akan pernah rampung. Apa yang terjadi di dunia kini sudah terlalu gamblang memaparkan ini tanpa kita perlu diingatkan lagi oleh satu film sci-fi distopian yang sama sekali kurang menghibur dalam banyak aspeknya. Satu sisi yang mencuri perhatian hanyalah penampilan memikat Rachel Zegler dan olah vokalnya yang luar biasa.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
60 %
Artikel SebelumnyaWomen from Rote Island Berhasil Raih Empat Piala Citra
Artikel BerikutnyaThe Tunnel to Summer, the Exit of Goodbyes
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.