“This is wrong; the room is changing us.”

Ruang eksperimen dalam satu ruang terbatas bukan hal baru dalam medium film, satu contoh termutakhir adalah Spiderhead yang baru lalu dirilis Netflix. The Immaculate Room merupakan film drama thriller arahan Mukunda Michael Dewil dengan dibintangi Emile Hirsch dan Kate Bosworth. Film berdurasi 92 menit ini dirilis oleh platform Amazon Prime. Lantas dengan tema berat dan set minimalis ini seberapa jauh film ini mampu dieksplorasi sang sineas?

Pasangan muda, Kate (Bosworth) dan Mike (Hirsch) setuju untuk mengikuti sebuah uji eksperimen dalam ruang tertutup yang dinamakan Immaculate Room. Aturannya sederhana, jika bisa bertahan di ruang tersebut selama 50 hari, maka uang USD 5 juta akan jadi milik mereka. Namun, jika salah satu dari mereka keluar sebelum waktunya hanya akan mendapatkan USD 1 juta. Permainan yang terlihat mudah, hari demi hari menjadi semakin sulit. Terkungkung dalam satu ruang tertutup terbatas, di mana hanya ada kamar tidur dan kamar mandi, menguji level kewarasan yang mampu menguak sisi gelap mereka.

Film sejenis dengan set minim tentu tergantung dari pengolahan naskahnya agar tidak terasa bosan. Satu tes macam ini jarang sekali disajikan secara literal, namun melalui konflik cerita yang dikemas melalui beragam varian plot dan genre, seperti horor atau fiksi ilmiah. Ingat Cube, The Maze Runner, atau bahkan Saw? Intinya adalah menguji kesabaran dan kewarasan para tokohnya hingga titik breaking point mereka. Bedanya, dalam Immaculate Room para tokohnya bertindak atas dasar kesadaran mereka sendiri, tidak ada pihak yang memaksa. Kapan pun, mereka bisa keluar dari permainan. Ini yang menarik.

Konsep dan idenya jelas menggugah. Kita semua tahu, poin dari ini semua adalah, apakah uang adalah segalanya jika kita dihadapkan pada satu masalah? Kate dan Mike adalah orang biasa yang terlihat normal. Waktu adalah esensi dari pertanyaannya. Pilihan selalu ada di tangan mereka dan aksi mereka pulalah penyebab konflik di antara mereka sendiri. Satu problem terbesar di sini adalah penonton harus merasakan apa yang mereka rasakan, dan durasi sangat membatasi ini. Durasi yang ringkas membuat substansi kisahnya menjadi kurang menggigit. Satu problem demi problem berlalu terlalu cepat tanpa bisa kita berempati penuh pada dua sosoknya. Padahal eksplorasi eksperimennya berjalan semakin menarik ketika satu sosok masuk ke dalam ruangan.

Baca Juga  CODA

Sebuah ide yang menarik walaupun terlalu literal, The Immaculate Room adalah satu studi karakter melalui pendekatan teatrikal. Penampilan akting jelas menjadi faktor utama, dan kedua bintangnya tidak mengecewakan sama sekali. Lantas, poin filmnya apa? Apakah bisa terjawab oleh plotnya? Rasanya tidak. Dari shot penutup di penghujung, jelas terbersit satu jawaban yang tidak diperlihatkan adegannya. Apakah kebahagian itu berarti kita bisa mewujudkan impian kita (untuk menolong orang lain) sementara orang yang tulus mencintai harus dikorbankan? Ya tentu, kita punya opini masing-masing soal ini.

 

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
60 %
Artikel SebelumnyaOrphan: First Kill
Artikel BerikutnyaBeast
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.