The Karate Kid (2010)
140 min|Action, Drama, Family|11 Jun 2010
6.2Rating: 6.2 / 10 from 210,147 usersMetascore: 61
Work causes a single mother to move to China with her young son; in his new home, the boy embraces kung fu, taught to him by a master.

10 Juni 2010,

The Karate Kid merupakan remake film drama aksi berjudul sama tahun 1984. Filmnya kali ini digarap oleh Harals Zwart. Uniknya film ini diproduseri oleh aktor Will Smith yang dibintangi putranya sendiri, Jaden Smith. Selain bintang cilik ini juga bermain superstar Asia, Jackie Chan, serta aktris kulit hitam Taraji P. Henson. Film remakenya yang kali ini mengambil setting cerita di negeri Cina ini hanya memakan bea produksi sebesar $35juta.

Si cilik, Dre Parker (Smith) bersama ibunya (Henson) harus pindah ke China karena alasan karir sang ibu. Di tempat barunya ini yang sangat asing bagi anak berkulit hitam seperti Dre, ia mencoba bergaul dengan anak-anak sebayanya. Dre bahkan juga telah tertarik dengan gadis cantik sebayanya, Mei Ying. Tanpa diduga sekelompok anak-anak menggangu Dre hingga terjadi perkelahian dan ia terluka. Di sekolah pun Dre masih diganggu oleh anak-anak yang sama. Suatu hari ketika Dre kembali diganggu ia ditolong oleh Mr. Han (Chan) yang juga bekerja sebagai maintenance di apartemennya. Dre yang terkesan dengan kung fu Mr. Han memintanya untuk menjadi murid namun ditolaknya halus. Dre lalu meminta tolong Mr. Han untuk berbicara pada guru kung fu dari anak-anak yang menganggunya agar mereka tidak menggangunya lagi. Di luar dugaan sang guru malah mengajak bertarung namun Mr. Han memilih mereka untuk bertarung secara fair di sebuah turnamen kung fu. Mr. Han pun akhirnya melatih Dre untuk belajar kung fu untuk mempersiapkan even tersebut.

Dari sisi cerita, film remake-nya ini bisa dianggap loyal dengan film aslinya. Tak ada kejutan cerita memang namun film ini mampu memberi sentuhan yang berbeda dari film aslinya. Sisi dramatik jelas lebih kuat dari sisi aksinya dan penonton akan mudah untuk larut mengikuti cerita filmnya. Cerita film dituturkan dengan sabar dan wajar sejalan dengan pendewasaan diri tokoh-tokoh utamanya. Sederhana dan hangat… mungkin ini kata-kata yang pas memberi komentar untuk cerita filmnya. Kehangatan hubungan sang bocah dengan ibunya, Mr, Han, lalu juga Mei Ying mampu memberikan sentuhan manusiawi yang jarang kita temui pada film-film keluarga sejenis bahkan film aslinya sekalipun.

Baca Juga  Elvis

Boleh jadi memang film ini terlalu panjang namun sineas tidak sia-sia memperpanjang durasinya. Setting cerita di Cina mampu dimanfaatkan maksimal dengan menggunakan potensi keindahan alam serta budaya negeri tersebut, seperti jalanan dan gang-gang kota Shanghay, wisata kota terlarang, festival hari “Valentine Cina”, tembok benteng Cina, hingga wisata nan indah di puncak bukit. Eksotisme lokal memberikan sentuhan serta warna yang unik yang tidak terdapat pada film aslinya.

Namun antiklimaks cerita justru terjadi pada sekuen klimaksnya. Tahap demi tahap detil cerita nyaris mirip dengan film aslinya sehingga tak ada kejutan yang berarti. Semua orang sudah tahu akhir cerita film ini namun sungguh tidak bisa dimengerti mengapa harus sama seperti film aslinya. Juga pertarungan-pertarungan dalam turnamen ini sendiri sungguh sangat sangat menganggu. Bocah-bocah usia pra remaja harus saling bertarung keras sedemikian rupa dengan teknik-teknik beladiri yang kadang sangat berbahaya dan cenderung brutal. Satu contoh saja seorang bocah dengan “sadis” menendang dengan demikian kuat lawannya hingga terpental jauh (terbang) keluar arena. Pada pertarungan akhir, masak iya sih seorang bocah yang sudah demikian kesakitan masih diperbolehkan bertarung? What the h***?? Apakah memang aksi yang seperti ini bisa ditolerir dalam sebuah pertarungan tingkatan umur ini? Orang tua macam apa yang memperbolehkan anaknya menonton atau bahkan mengikuti pertandingan brutal macam ini? I don’t know but this is too much! Jelas sangat berbeda jika pertandingan ini diikuti oleh orang dewasa.

The Karate Kid versi baru memang memakai formula cerita yang sama namun kali ini sentuhannya sangat berbeda. Kehangatan cerita serta eksotisme lokal sungguh memberi nilai plus filmnya. Para kastingnya sendiri juga tidak mengecewakan, Jaden, Chan, hingga Henson bermain sangat menawan. Filmnya sendiri juga sarat dengan wejangan serta falsafah timur sederhana dan dalam yang mudah dipahami anak-anak sekalipun. Kungfu sejatinya bukanlah untuk bertarung melainkan adalah bagaimana kita bersikap (baik) pada orang lain. Kata-kata manis juga terlontar dari Dre untuk ayah Mei Ying, “teman sejati adalah orang yang mampu membuat kita menjadi orang yang lebih baik…”. Hanya sayang seribu sayang sekuen klimaks filmnya sungguh-sungguh merusak segalanya. It’s just too brutal for kids…

PENILAIAN KAMI
Overall
60 %
Artikel SebelumnyaThe A-Team
Artikel BerikutnyaToy Story 3
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.