The Kid Who Would Be King merupakan film fantasi remaja yang digarap dan ditulis naskahnya oleh Joe Cornish. Ini tentu adalah satu hal yang tak lazim, mengingat film fantasi sejenis biasanya diadaptasi dari buku populer, seperti Harry Potter, Percy Jackson, serta The Lord of the Rings (LOTR). Film ini sendiri merupakan proyek kolaborasi antara studio Hollywood dengan Inggris. Film ini dibintangi Louis Ashbourne Serkis, Tom Taylor, serta dua pemain senior, Rebecca Ferguson dan Patrick Stewart. Film ini mencoba menarik target penonton remaja, termasuk fans film fantasi populer lainnya, dan dengan formula yang tak lagi baru, rasanya sulit untuk bisa bersaing di pasar.
Film dibuka dengan satu segmen animasi pendek mengesankan yang mengisahkan legenda Raja Arthur. Sejak ia bocah hingga menjadi raja yang menyatukan wilayah Inggris dengan dibantu pedang saktinya, Excalibur. Sang penyihir jahat, Morgana yang ingin menguasai tanah Britania Raya berhasil dilumpuhkan dengan susah payah oleh Arthur dan para ksatrianya. Morgana kelak akan kembali jika umat manusia telah kehilangan nuraninya.
Pada masa kini, dikisahkan Alexander adalah seorang bocah berhati baik yang memiliki sahabat bernama Bedders. Mereka berdua selalu di-bully oleh dua senior mereka di sekolah, Kaye dan Lance. Suatu ketika Alexander dikejar oleh dua seniornya dan tanpa sengaja masuk ke dalam situs konstruksi bangunan. Alex menemukan satu buah pedang tertancap di satu kolom. Ia pun berhasil mencabutnya, dan sejak saat ini peristiwa aneh sering menghampirinya. Alex bersama rekan-rekannya, tanpa mereka sadari terjebak dalam satu petualangan seru untuk mengalahkan sang ratu iblis yang telah kembali.
Kisahnya terasa familiar? Sebuah kisah klasik atau mitos yang dituturkan kembali dengan berlatar era modern? Tentu ini banyak mengingatkan pada seri Percy Jackson yang gagal melanjutkan seri filmnya, tak seperti pesaing beratnya, seri Harry Potter. King dan Percy nyaris memilliki inti kisah yang nyaris sama. Sang tokoh utama merupakan “titisan” dari sosok legendaris atau dewa yang kembali untuk melawan musuh lamanya. Apa ini masalah? Tentu tidak. Walau proses alur kisah keduanya jauh berbeda, namun tetap saja tak sulit untuk diantisipasi. Tak banyak kejutan berarti. Beberapa momen aksi dalam filmnya memang menghibur, namun dalam beberapa momen lain, tensi dramatik terlihat sangat menurun. Tak seperti film-film fantasi sejenis yang hingar-bingar, King terasa lebih sederhana, baik secara cerita maupun visual. Hal ini yang membuat filmnya terasa amat tanggung dari segala aspeknya.
Jika dibandingkan Percy, Potter, atau bahkan LOTR, efek visual King memang bukan levelnya. Dalam aksi klimaks, pencapaian CGI-nya tergolong kasar untuk menampilkan sosok monster naga terbang Morgana. Hal ini yang sebenarnya membuat filmnya terasa “murah” dan tak berkesan. Satu aspek lagi yang lemah adalah ilustrasi musiknya yang tak mampu menguatkan momen demi momennya. Tak bisa kita rasakan adanya satu musik tema yang kuat. Jika dibandingkan dengan score seri Potter atau LOTR, bagaikan bumi dan langit.
King terhitung memiliki pencapaian visual yang tanggung hingga sisipan humor pun relatif tak jauh berbeda. Tak banyak lelucon berkelas. Semua relatif datar nyaris seperti kisahnya. Namun, di luar dugaan, King sarat dengan nilai dan pesan universal yang kuat. The Kid Who Would Be King, memang tak lagi orisinal, namun untuk target penonton keluarga, film ini rasanya bakal menghibur melalui segmen aksinya dengan sisipan pesan tentang keberanian, kejujuran, persahabatan, serta hati yang mulia. Untuk menjadi seorang pemimpin sejati, tak perlu memiliki garis keturunan raja atau bangsawan. The Kid Who Would Be King memberi satu contoh teladan yang baik dan positif bagi generasi muda kini, ditengah nilai-nilai luhur di atas yang kini telah semakin memudar.
WATCH TRAILER