The Killing of a Sacred Deer (2017)

121 min|Drama, Horror, Mystery|03 Nov 2017
7.0Rating: 7.0 / 10 from 184,272 usersMetascore: 73
Steven, a charismatic surgeon, is forced to make an unthinkable sacrifice after his life starts to fall apart, when the behavior of a teenage boy he has taken under his wing turns sinister.

*Disarankan untuk menonton filmnya sebelum membaca ulasan ini.

The Killing of a Sacred Deer adalah film drama unik arahan sineas Yargos Lanthimos. Yargos sebelumnya menggarap film-film yang berjaya di berbagai ajang festival film bergengsi, seperti Dogtooth dan Lobster. Kisah film ini diadaptasi dari drama pertunjukan Yunani kuno, Iphigenia at Auilis karya Euripides. Film ini dibintangi oleh Colin Farrel, Nicole Kidman, Alicia Silverstone, dan Barry Keoghan. Sacred Deer juga telah meraih nominasi Palm D’or dan meraih naskah terbaik di Cannes Film Festival 2017 baru lalu.

Steven adalah seorang dokter bedah jantung brilian yang memiliki istri, Anna, dan dua anaknya Kim dan Bob. Steven dekat dengan seorang remaja bernama Martin, yang belakangan diketahui adalah putra dari mantan pasiennya yang tewas di meja operasi. Dalam perkembangan, Martin dikenalkan oleh Steven ke keluarganya. Martin bertambah semakin dekat dan mulai menganggu kehidupan Steven. Sang dokter pun berusaha selalu menghindar. Hingga suatu ketika, Bob mendadak lumpuh tanpa alasan yang jelas, dan Martin pun mengatakan bahwa ia yang bertanggung jawab karena Steven telah membunuh ayahnya.

Film ini jelas memang tidak ditujukan untuk penonton awam. Dengan bahasa visual dan kisah yang tak lazim, film ini jelas sangat sulit dicerna. Butuh waktu untuk memahami kisahnya, karena tempo filmnya yang amat lambat. Lambat laun, kita pun tahu konflik dan mau ke mana arah cerita film ini. Balas dendam menjadi motif utama kisahnya. Martin hanya menginginkan keadilan dari Steven dengan menukar jiwa ayahnya dengan orang yang dikasihi Steven. Walau terasa absurd dan bernuansa mistik, kisah filmnya dikemas begitu dramatik dengan ketegangan mencekam layaknya film horor. Kita hanya bisa menduga-duga, apakah Martin adalah jelmaan iblis atau penyihir sehingga bisa memiliki kemampuan sedemikian rupa. Ilustrasi musik yang begitu aneh pun terasa amat mencekam dan mendukung adegannya. Dalam satu segmen klimaks “horor” yang begitu menakutkan, mengingatkan benar pada adegan “Russian Roulette” dalam The Deer Hunter. Bulu kuduk merinding sepanjang adegan ini dan Martin pun mendapatkan apa yang ia mau. Dendam terbalaskan. Namun, apakah hanya sesederhana ini?

Sejak awal film bermula, tampak jelas jika film ini memiliki sesuatu yang berbeda. Bahasa visual filmnya yang unik sejak awal memang terasa memiliki motif-motif tertentu. Semua mendadak menjadi jelas ketika Martin mengajak Steven ke rumahnya untuk bertemu dengan ibunya. Dalam satu adegan, mereka memutar film The Groundhog Day yang menjadi film favorit ayah Martin. Di layar kaca tampak adegan dari film tersebut, yang untuk pertama kalinya Phil (Bill Murray) berbicara pada Rita (Andie MacDowell) tentang kemampuan dirinya (akibat ia ratusan atau ribuan kali mengulang di hari yang sama). Phil berkata, “How do you know I’m not a God?”, Rita hanya menjawab sambil tertawa, “You’re not a God!”. Satu momen adegan ini memberikan dugaan awal bahwa Martin adalah simbolisme “Tuhan”. Dalam beberapa adegan berikutnya memang hal ini terbukti. Misal saja, Martin memiliki kemampuan di luar manusia ketika ia membangkitkan Kim dari lumpuhnya.

Baca Juga  Film tentang Wabah: World War Z

Semua menjadi semakin gamblang ketika Martin disekap di ruang bawah tanah rumah Steven. Dalam satu momen, Martin menggigit lengan Steven, dan lalu ia pun menggigit lengannya sendiri hingga dagingnya terkelupas. Martin mengatakan sesuatu yang seharusnya Steven lakukan, namun sang dokter begitu egois dan tak mampu memahami ini semua. Steven tak berani mengorbankan dirinya sendiri bahkan ia harus menutup mata ketika ia harus memilih mana yang harus ia korbankan. Si bocah yang tak berdosa harus mati. Dalam adegan penutup yang brilian, Martin masuk ke dalam ruangan dan menatap keluarga Steven yang menatapnya dingin. Martin lalu duduk di belakang seberang mereka dan memesan minum. Kim seolah mengolok Martin dengan memakan kentang gorengnya yang ia lumuri saus tomat (“darah”), suatu hal yang bertolak belakang yang Martin biasa lakukan (memakan kentang goreng belakangan). Perlahan keluarga Steven berjalan meninggalkan Martin keluar dari restoran. Satu shot akhir memperlihatkan wajah Martin dan sekelebat bayangan di pojok kanan berupa simbol yang menegaskan diri-Nya.

The Killing of a Sacred Deer adalah satu pencapaian sempurna bagaimana bahasa visual dan naratif bekerja secara brilian dalam tingkatan yang berbeda. Jarang sekali sebuah film memilik pencapaian estetik dan naratif begitu mencerahkan. Pada tingkat naratif, film ini memiliki plotnya sendiri seperti yang kita lihat, namun permainan bahasa sinematiknya menyimpan satu pesan kuat yang amat universal dan sangat mendalam. Sejatinya ini adalah cerita tentang Tuhan dan manusia. Tuhan selalu mengasihi dan memberi tanda-tanda agar kita bisa kembali ke jalan-Nya. Namun, manusia pada akhirnya selalu berjalan menjauhi diri-Nya. Tanpa ada keraguan, The Killing of the Sacred Deer adalah film terbaik sepanjang tahun 2017.

WATCH TRAILER

PENILAIAN KAMI
Overall
100 %
Artikel SebelumnyaPara Pemenang Golden Globe 2018
Artikel BerikutnyaVin Diesel Membintangi Superhero: Bloodshot
His hobby has been watching films since childhood, and he studied film theory and history autodidactically after graduating from architectural studies. He started writing articles and reviewing films in 2006. Due to his experience, the author was drawn to become a teaching staff at the private Television and Film Academy in Yogyakarta, where he taught Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory from 2003 to 2019. His debut film book, "Understanding Film," was published in 2008, which divides film art into narrative and cinematic elements. The second edition of the book, "Understanding Film," was published in 2018. This book has become a favorite reference for film and communication academics throughout Indonesia. He was also involved in writing the Montase Film Bulletin Compilation Book Vol. 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Additionally, he authored the "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). Until now, he continues to write reviews of the latest films at montasefilm.com and is actively involved in all film productions at the Montase Film Community. His short films have received high appreciation at many festivals, both local and international. Recently, his writing was included in the shortlist (top 15) of Best Film Criticism at the 2022 Indonesian Film Festival. From 2022 until now, he has also been a practitioner-lecturer for the Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts in the Independent Practitioner Program.

1 TANGGAPAN

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.