The Last Airbender (2010)
103 min|Action, Adventure, Family|01 Jul 2010
4.0Rating: 4.0 / 10 from 176,573 usersMetascore: 20
Aang, a young successor to a long line of Avatars, must master all four elements and stop the Fire Nation from enslaving the Water Tribes and the Earth Kingdom.

Aang (Ringer) adalah seorang Avatar dari suku udara berusia 12 tahun namun memiliki takdir untuk menyelamatkan dunia dari kekejaman suku api dengan menguasai empat elemen yakni, udara, air, tanah, dan api. Bersama dua kakak beradik, Katara (Peltz) dan Sokka (Rathbone), Aang mengembara mencari seorang guru yang bisa mengajarinya menguasai tiap elemen. Tujuan pertama mereka adalah istana suku air di kutub utara. Sepanjang perjalanan mereka dikuntit oleh Zuko (Patel) yang bersumpah pada ayahnya untuk membawa sang Avatar ke suku api.

Tak ada kata lain untuk memberi komentar film ini selain kegagalan total. Sebuah pencapaian yang sangat sangat menyedihkan untuk sineas sekelas Shyamalan yang pernah memproduksi film-film berkualitas macam, The Sixth Sense dan Signs. Semua aspek dalam film ini sangatlah menyedihkan. Shyamalan yang juga menulis naskahnya tidak mampu mentranformasikan seri animasinya ke layar lebar. Seri animasinya yang memiliki kisah sederhana dan jelas justru dibuat membingungkan dan serba tergesa-gesa. Alur plotnya yang sangat lemah disempurnakan oleh dialog-dialog buruk, seperti laiknya ditulis penulis naskah amatir. Melihat akting para pemain yang menyedihkan plus dialog-dialog buruk membuat seringkali penulis tertawa kecil seperti menonton suguhan teater yang dilakonkan anak-anak SD.

Kegagalan The Last Air Bender membuktikan memang tidak mudah mentranformasi film animasi ke film live action. Dragon Evolution tahun lalu juga bernasib sama. Apa artinya setting yang megah serta efek visual yang mahal jika tidak didukung cerita yang layak, semuanya jadi tampak serba artifisial. Seri animasi The Last Air Bender sebenarnya memiliki kisah yang sarat dengan pesan-pesan universal yang relevan dengan masalah umat manusia masa kini yang makin luntur nuraninya. Sayang versi filmnya tak mampu memperlihatkan ini semua dengan semestinya. Dalam konteks pencapaian bahasa film untuk sineas sekelas Shyamalan serta bujet produksi sebesar ini, film ini bisa dibilang adalah film terburuk yang pernah diproduksi Hollywood sejauh ini. We can say goodbye to Mr. Shyamalan..

PENILAIAN KAMI
Artikel SebelumnyaSalt, Spionase Non Stop Aksi
Artikel BerikutnyaElemen Lain itu Bernama Imaji
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

1 TANGGAPAN

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.