The Last of Us (2023–)
18S min|Action, Adventure, Drama|15 Jan 2023
8.7Rating: 8.7 / 10 from 602,464 usersMetascore: N/A
After a global pandemic destroys civilization, a hardened survivor takes charge of a 14-year-old girl who may be humanity's last hope.

Film bertema zombi sudah ratusan banyaknya, namun yang diadaptasi dari gim video tidaklah banyak. Seri Resident Evil adalah salah satunya walau bukan contoh yang ideal. The Last of Us adalah juga diadaptasi dari gim video populer bertitel sama yang dirilis tahun 2013. Uniknya, naskah seri filmnya kembali ditulis dan bahkan dua episode awal diarahkan oleh sang kreator Craig Mazin dan Neil Druckman. Sementara dua tokoh protagonis utama diperankan oleh Pedro Pascall dan Bella Ramsey yang sepanjang serinya didukung oleh puluhan aktor-aktris ternama, seperti Gabriel Luna, John Hannah, Storm Reid, hingga aktris senior kita, Christine Hakim. Seri film yang bertotal 9 episode ini memiliki rata-rata durasi 40-50 menit. Hanya episode pertamanya berdurasi 81 menit. Lantas apa seri ini mengekor Resident Evil yang tak jauh dari gim videonya?

Pada tahun 2003, umat manusia mulai dijangkiti pandemi global akibat infeksi jamur yang berawal dari wilayah Jakarta, Indonesia. Infeksi ini tidak memiliki obat penyembuh. Orang yang terinfeksi, bak zombi, akan menjadi beringas dan memakan manusia lainnya, serta yang tergigit pun akan tertular. Episode pertama menyajikan menit demi menit, bagaimana wabah ini bermula di kota Texas, yang ditinggali Joel (Pascal) dan dalam prosesnya putrinya, Sarah pun terbunuh. Joel bersama adiknya, Tommy (Luna) lolos dari maut. Dua puluh tahun kemudian, dunia sudah berubah drastis dan tidak banyak manusia tersisa. Pemerintah AS tergantikan oleh lembaga darurat bernama FEDRA dan kelompok oposan adalah Firefly. Hukum rimba pun berlaku, tiap kelompok berjuang untuk hidup untuk melawan manusia yang terinfeksi maupun yang tidak.

Joel yang kini adalah seorang penyelundup bersama rekannya Tess, tak sengaja bertemu dengan pimpinan Firefly yang meminta mereka untuk mengantarkan seorang gadis remaja bernama Ellie (Ramsey) ke sebuah lokasi. Belakangan diketahui bahwa Ellie rupanya imun terhadap infeksi jamur dan Joel mengantarnya ke fasilitas laboratorium yang masih tersedia di AS. Sepanjang serinya menuturkan perjalanan dan petualangan Joel dan Ellie di wilayah terbuka yang berbahaya, bertemu dengan orang-orang dan kelompok yang berbeda karakter, serta hubungan mereka yang semakin dekat layaknya ayah dan putrinya.

Bagi para penikmat gim videonya, bisa jadi kecewa berat dengan seri ini jika mengharap sebuah aksi petualangan yang seru dan menegangkan. Dalam beberapa momen, aksi seru memang ada, namun dominasi alur plot seri ini adalah sisi drama. Ini yang amat mengejutkan bagi saya. Penikmat gimnya pasti akan tahu persis alur plot serinya, melihat ratusan postingan media sosial yang membandingkan visualisasi film dibanding gimnya. Entah bagaimana respon para fans gimnya, namun yang jelas, The Last of Us adalah sebuah seri drama bencana yang amat menggugah dan humanis.

Baca Juga  Call

Dalam banyak episodenya menghadirkan konflik yang jamak dalam film tema “zombi”, yakni hilangnya sisi manusiawi di mana manusia saling bunuh untuk sekadar bertahan hidup. Istimewanya, sisi gelap manusia ini dikemas dengan kisah yang elegan, namun kadang pula brutal. Semua episodenya memiliki karakternya yang khas dan pesan berbeda pula.

Beberapa kilas-balik kerap digunakan untuk memberi latar kisah di masa kini, seperti segmen di Jakarta, segmen relasi hangat antara dua pria Bill dan Frank, lalu kisah Ellie dengan sobat karibnya Riley, serta di episode terakhir yang menampilkan sosok Ibu Ellie. Kisah hubungan Bill dan Frank tercatat adalah yang terbaik dan paling menyentuh, bagaimana keduanya bisa relaks menikmati dunia di kala bencana menimpa umat manusia. Tanpa segmen kilas balik ini, alur plot utamanya tidak akan memiliki kedalaman. Sementara sisi brutal disajikan pada episode menjelang akhir yang memberikan pemahaman tentang hidup bagi Ellie ketika ia harus bertahan hidup tanpa Joel. Ellie mendapat pelajaran berharga dengan cara yang tak mengenakkan untuk bisa melihat realita dunia yang ia hadapi adalah keras dan dingin. Semakin Ellie memahami kenyataan, semakin pula ia memahami Joel. Ini adalah inti kisah serinya.

Di luar sisi drama, seri ini pun menyajikan aspek teknis yang istimewa, khususnya dari desain produksi. Kota dan desa yang terbengkalai, baik eksterior maupun interior disajikan begitu meyakinkan. Hingga sebuah bekas bangunan mal pun mampu disajikan sangat baik dalam satu episodenya. Walau tak banyak muncul, sosok “zombi” pun disajikan unik dengan tubuh yang penuh jamur dengan ragam varian yang berbeda. Bagi para penikmat gimnya tentu banyak kecewa dengan ini. Namun sajian aksi seru pada episode 2, 5, dan 9, rasanya bisa sedikit menghibur para fansnya. Sisi ketegangan yang ada dalam gimnya nyaris hilang dalam serinya.

The Last of Us adalah adaptasi gim video bertema zombi yang secara mengejutkan tidak didominasi aksi namun justru sisi drama yang humanis. Saya justru penasaran melihat respon para penikmat fanatik gim videonya. The Last of Us adalah salah satu film bertema “zombi” terbaik setidaknya dibandingkan seri zombi lainnya. Jika diadaptasi ke layar lebar pun, rasanya ini bisa menjadi salah satu yang terbaik, walau ini tentu mustahil dari sisi durasi. Konon musim kedua serinya akan diproduksi, kita nantikan petualangan Joel dan Ellie selanjutnya dengan harapan masih memiliki kekuatan dan kedalaman kisah yang sama.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
80 %
Artikel SebelumnyaDiponegoro 1830
Artikel BerikutnyaShazam! Fury of the Gods
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.