The Last Voyage of Demeter adalah film fantasi horor yang diadaptasi dari satu bab dalam novel legendaris Dracula (1897) karya Bram Stoker. Film ini diarahkan sineas asal Norwegia André Øvredal dengan beberapa pemain yang kurang familiar, sebut saja Corey Hawkins, Aisling Franciosi, Liam Cunningham, dan David Dastmalchian. Film berbujet USD 45 juta berdurasi sekitar 119 menit yang nyaris seluruh adegannya berada di atas kapal. Adaptasi “Dracula” sudah demikian banyaknya sejak era klasik hingga kini, apakah kini secuil kisahnya mampu memenuhi ekspektasi?
Pada tahun 1897, Kapal Demeter melakukan transit di pelabuhan Varna, Rumania, untuk mengambil kargo dalam tujuan akhir mereka ke Inggris. Dua kotak kargo misterius diangkut ke dalam kapal tanpa ada kecurigaan apa pun dari para awaknya. Clemens (Hawkins) adalah seorang dokter berkulit hitam yang ikut bersama awak kapal karena telah menolong Toby, cucu kapten Elliot (Cunningham). Dalam perjalanan beberapa peristiwa ganjil mulai terjadi. Stok makanan kapal berupa hewan ternak, semua tewas oleh gigitan binatang buas. Satu kotak kargo berisi perempuan muda yang dipendam dalam tanah. Sang dokter pun berusaha menyelamatkan nyawanya. Sementara itu, satu persatu kru awak kapal pun mulai menghilang secara misterius.
Jika dibilang loyal dengan sumber aslinya (novel), plot Demeter jelas jauh dari ini. Dalam kisah satu bab aslinya, The Captain’s Log, hanya berisi catatan tertulis sang kapten dari waktu ke waktu yang menyajikan bagaimana situasi awak kapal dan bagaimana mereka menghilang satu persatu secara misterius. Tak ada sosok Clemens, tak ada Toby (cucu sang kapten), dan tak ada Anna. Naskahnya jelas adalah tafsiran lepas sumber aslinya. Bisa jadi ini masalah besar bagi fans novelnya, namun bukan lantas berarti ini tidak menarik sebagai medium film dalam konteks masa kini. Hal ini dapat ditolerir karena tuntutan durasi dan intensitas dramatik bukan hal mudah untuk dikompromikan. Naskahnya pun terbukti mampu menyajikannya secara elegan dengan menyelipkan sentimen ras dan perempuan, serta sisi manusiawi para awak kapalnya.
Di luar tafsiran lepasnya, Demeter adalah sebuah pengalaman visual yang sangat memesona. Setting menjadi satu hal yang menjadi kekuatan besar filmnya. Sejak pembuka, suasana pelabuhan sungguh disajikan secara menakjubkan dan meyakinkan. Rasanya ini salah satu visualisasi terbaik pelabuhan di era silam ketimbang seri Pirates of the Caribbean yang bernuansa kental fantasi. Lalu setting kapal Demeter sungguh mengesankan, baik ruang eksterior (dek) maupun ruang-ruang indoor-nya. Benar-benar terlihat natural. Hanya saja dalam beberapa adegan tampak terasa “stabil” tanpa ada goyangan, walau bukan masalah besar. Aksi-aksi menegangkannya juga jauh dari buruk yang sangat terbantu oleh suasana dan atmosfir kapal yang gelap dan suram. Lalu sosok sang monster pun mampu disajikan demikian fantastik. Menonton Demeter, tak berasa seperti menonton film horor, namun adalah layaknya menonton “Alien”.
Kita semua tahu bagaimana kisah dan ending-nya, namun The Last Voyage of Demeter adalah sebuah pengalaman visual yang menggigit. Untuk setting-nya rasanya film ini adalah salah satu yang terbaik untuk genrenya. Menafsirkan kisah hanya sepenggal kecil dari sumber aslinya jelas bukan perkara mudah, namun Demeter mampu menyajikan dengan baik walau terasa banyak dramatisasi di beberapa momen. Untuk fans horor jelas adalah satu sajian yang menarik untuk ditonton dan dibincangkan. Demeter adalah adaptasi novel terbaik sejak Bram Stoker’s Dracula arahan sineas berpengaruh Francis Ford Coppola.