Siapa yang tak kenal sosok raja rimba Tarzan, sejak era film bisu hingga kini sudah ada ratusan adaptasi film dari sang kreator, Edgar Rice Burroughs. Sejak era film klasik, franchise yang dibintangi perenang Johnny Weissmuller dengan belasan filmnya hingga film animasi Disney di tahun 1999, walau masih kalah populer dengan OST-nya yang dibawakan Phil Collins. Satu adaptasi live action, Greystoke, The Legend of Tarzan, Lord of the Apes (1984) yang dibintangi Christopher Lambert hingga kini masih dianggap yang terbaik dengan tiga nominasi Oscar-nya. The Legend of Tarzan mencoba menawarkan sesuatu yang berbeda namun sang sineas piawai, David Yates (Harry Potter seri 5, 6, 7 & 8) ternyata tidak mampu berbuat banyak.
Alkisah sudah 8 tahun, John Clayton III alias Tarzan keluar dari hutan rimba dan tinggal di London bersama sang istri terkasih, Jane. Seorang Amerika, George W. Williams akhirnya bisa memaksa John untuk kembali ke Congo atas undangan dari raja penguasa setempat sekaligus menyelidiki isu perbudakan disana. Namun yang tidak diketahui John adalah Leon Rom, seorang mantan perwira licik memanfaatkan kedatangan John untuk keuntungan pribadinya, ketika kepala suku, Chief Mbonga, yang punya dendam dengan Tarzan, memberikan batu berlian yang tak ternilai.
Sebenarnya film ini telah dibuka dengan sangat baik. Karakter-karakter utama ditampilkan sekilas tanpa harus kita perlu tahu detil latarnya seolah kita bakal digiring ke sebuah kisah hebat sosok mantan raja rimba yang memulai petualangan barunya. Apa yang telah dibangun di awal justru porak poranda justru ketika kisah film memulai konfliknya. Terlampau banyak subplot (balas dendam, politik, penculikan, gorilla, memori silam, dan lain-lain) membuat kisahnya menjadi tak fokus dan melompat kesana-kemari tanpa penjelasan yang cukup. Segmen kilas-balik Tarzan dan Jane yang sesekali muncul tidak mampu memberikan emosi yang cukup bagi penonton karena disajikan setengah-setengah. Ini yang menjadi kunci masalah terbesar filmnya. Belum cukup emosi kita masuk ke dalam sebuah adegan sudah dipotong oleh adegan lainnya. Durasi 2 jam jelas tidak cukup untuk memasukkan semua elemen cerita dalam satu film ini dan mini seri bisa jadi adalah bentuk yang pas dan tidak terlihat memaksa.
Satu alasan terbesar mengapa saya melihat film ini adalah David Yates. Kemampuan sineas ini sungguh luar biasa dalam mempermainkan emosi penonton dan aspek editing menurut saya adalah salah satu kekuatan utama Yates. Warner Bros (WB) mempercayakan empat film terakhir seri Harry Potter pada Yates, tercatat sebagai sineas yang terbanyak menggarap seri ini. WB rupanya masih kepincut dengan talenta Yates hingga mempercayakan proyek besar berbujet US$180 juta ini pada sineas asal Inggris ini. Sungguh amat disayangkan justru aspek editing yang menjadi kelemahan terbesar film terbarunya ini. Layaknya amatiran (diluar guntingan sensor) film ini tidak mampu memberikan kontinuitas cerita serta emosi yang cukup bagi penonton bahkan kadang hingga shot per shot dalam satu adegan. Rangkaian shot di adegan penghujung bisa menjadi bukti betapa buruknya aspek ini.
The Legend of Tarzan berusaha melakukan pendekatan cerita yang berbeda namun banyaknya subplot menjadikan kisahnya tidak fokus layaknya film berdurasi 4 jam yang dipotong menjadi durasi 143 menit. Diluar segala kelebihan efek visual dan sinematografinya, tidak diragukan film ini adalah calon terkuat film blockbuster terburuk tahun ini. Para pemain utama sebenarnya bermain tidak buruk hanya naskah dan aspek editing mengecewakan mereka. Agak geli juga melihat sosok George yang diperankan aktor senior, Samuel L. Jackson yang mengingatkan banyak pada sosok Nick Fury yang sama-sama jago tembak. Sebagai penutup, rasanya sang raja rimba dalam kisah film ini berat untuk bisa menyaingi sukses Mowgli dalam The Jungle Book yang sukses fenomenal awal tahun lalu.
WATCH TRAILER