The Lord of the Rings: The War of the Rohirrim adalah film anime fantasi yang digarap oleh sineas Jepang Kenji Kamiyama. Film ini merupakan sempalan kisah epik The Lord of the Rings kreasi J.R.R. Tolkien yang diispirasi dari trilogi The Lord of the Rings (2001-2003) karya Peter Jackson. Opsi bentuk film animasi adalah solusi efektif ketimbang diproduksi live action dengan resiko bujet selangit. Film ini diisi suara oleh Brian Cox, Gaia Wise, Luke Pasqualino, hingga Miranda Otto, yang dulu juga pernah bermain dalam trilogi aslinya. Membandingkan dengan film triloginya tentu adalah hal yang tak masuk akal, akankah setidaknya masih memiliki kontinuiti kisah yang kuat dan segar?
Film ini berkisah 200 tahun sebelum peristiwa dalam The Lord of the Rings yang latar lokasi kisahnya tentu tak asing bagi fans triloginya. Raja Rohan, Helm Hammerhand (Brian Cox) adalah seorang raja petarung bersosok besar dan keras, serta memiliki ratusan pasukan berkuda tangguh, “Rohirrim”. Sentral kisahnya adalah putri Helm yang bernama Hera (Wise). Konflik bermula ketika secara tak sengaja Helm menewaskan seorang petinggi kelompok Dundenlings, Freca, yang juga rival lamanya. Putra Freca, Wulf bersumpah akan membalas dendam.
Beberapa tahun kemudian, Wulf berhasil menghimpun kekuatan dari kelompok Dundenlings serta lainnya. Ia pun menyerang istana Rohan, Edoras, serta berhasil memukul mundur sang raja yang terluka bersama seluruh warganya ke benteng Hornburg yang kita kenal sebagai Helm’s Deep (lokasi pertempuran dalam The Two Towers). Senada dengan kisah The Two Towers, plotnya terfokus pada Hera dan sisa pasukannya yang bertahan hidup sepanjang musim dingin di bawah kepungan pasukan Wulf.
Pertanyaan yang paling awal muncul, apakah kita perlu menonton triloginya untuk memahami kisah The War of the Rohirrim? Tidak juga. Namun, bagi fans triloginya bakal menemui sisi nostalgia dalam plotnya ketika beberapa lokasi yang tidak asing dihadirkan, sebut saja Edoras, Isengard, dan tentu saja Helm’s Deep. Lokasi terakhir adalah tentu yang memberikan sensasi emosional mendalam karena separuh durasi cerita dari The Two Towers terdapat di benteng ikonik ini. Sekarang kita tahu, apa yang sesungguhnya dulu terjadi di sini, dan mengapa nama benteng tersebut diubah menjadi Helm’s Deep.
Selain cerita, rasanya sulit untuk berkomentar secara visual. Gaya anime-nya tak ada yang spesial dan “mise_en_scene”-nya pun banyak mengambil inspirasi dari trilogi The Lord of the Rings. Bahkan beberapa ilustrasi musiknya masih menggunakan musik tema sama, seperti “Rohan”. Segmen aksi-aksinya yang menjadi dominasi kisahnya, tentu jauh berbeda level dengan triloginya. Tidak lebih tapi cukup untuk mendukung kisahnya. Satu sosok familiar muncul sekilas, sementara satu nama besar lainnya hanya disebut dalam dialog.
Dengan nuansa kental trilogi aslinya, The Lord of the Rings: The War of the Rohirrim adalah usaha kuat untuk menyegarkan serinya, walau eksekusinya terasa kurang menggigit. Dari sisi franchise-nya, film animasi ini rasanya kurang megah menjadi tontonan bioskop. Namun, tidak ada salahnya mencoba mencari peruntungan dari rilis teaternya. Tema perempuan tangguh kembali unjuk gigi mengikuti tren dalam satu dekade belakangan ini. Sekuel? Kisahnya membuka potensi untuk kisah lanjutan. Untuk konteks kisahnya, sosok Hera memang menarik untuk dieksplorasi, namun tentunya tidak sebagai tontonan bioskop.