Philippe Le Guay ialah sutradara kawakan Prancis sejak tahun 80-an yang melihat urgensi untuk memvisualkan suatu isu kontroversial, maupun berpikir kritis tentang kebenaran. Guay “menyuarakan” keresahannya akan itu lewat film drama sejarah arahannya, The Man in the Basement, produksi Les Films des Tournelles, Big Sur Films, dan France 2 Cinéma. Skenarionya ia garap bersama Gilles Taurand dan Marc Weitzmann. Duet penulis senior dan pendatang baru. Para pemainnya sendiri adalah orang-orang lama, kecuali Victoria Eber (tentunya). Sebut saja François Cluzet, Jérémie Renier, Bérénice Bejo, Patrick Descamps, Jonathan Zaccaï, dan Denise Chalem. Melihat tendensi sang sutradara serta gap pengalaman antara dua penulis yang membantu dia, akan jadi seperti apa film ini kemudian?
“Many people don’t want to hear things they don’t want to hear. Are you afraid of the truth!?”
Garis besar sederhana dari kisahnya adalah Simon (Renier) dan Hélène Sandberg (Bejo) yang tinggal bersama di Prancis, kedatangan sesosok pria misterius, Jacques Fonzic (Cluzet), setelah menjual ruang bawah tanah mereka. Beberapa waktu kemudian, baik pasangan tersebut maupun seluruh penghuni bangunan tempat mereka tinggal, baru tahu bahwa Fonzic punya latar belakang bermasalah dan kebiasaan yang meresahkan. Kehidupan Simon dan Hélène lantas tidak pernah tenang sejak saat itu.
Isu tentang teologi, teologikofobia, teologis, keagamaan, religiusitas, genosida terhadap kelompok penganut kepercayaan tertentu, dan hal-hal di sekitar semua ini memang tak berkesudahan untuk menjadi cerita dalam sebuah film. Topik-topik yang kemudian bermunculan kerap kali di seputar salah dan benar. Pihak siapa yang paling salah, dan pihak siapakah yang benar. Sejarah pecahnya perang pada masa lalu dengan dendam yang terus dipupuk hingga saat ini. Tidak ada yang berani mempertanyakan ihwal sejarah tersebut, apalagi mengungkap kebenarannya. Guay pun dengan resah dan jengahnya, menyindir ketakutan orang-orang akan sebuah perbedaan pandangan dan pemikiran lewat The Man in the Basement.
Amat menarik, ketika kita melihat betapa The Man in the Basement menunjukkan secara gamblang reaksi “alergi”, kepanikan, dan ketakutan orang-orang terhadap kehadiran orang asing, Fonzic (Cluzet). Bahkan ketika orang asing tersebut rupanya memiliki masa lalu bermasalah, atau punya pemikiran kritis yang menentang kenyamanan dan kemapanan dalam masyarakat di sekitarnya. Apalagi peletakan setting tempat tinggal Fonzic di sebuah basement dengan jalan masuk yang panjang dan berliku, agak gelap dan dingin dari luar bangunan sampai ke depan pintu masuk. Menggambarkan betapa misterius latar belakang sesungguhnya dari dia. Buktinya, segala hal ganjil dan aneh yang (kebetulan) terjadi di lingkungan sekitar dia, secara sepihak disimpulkan oleh Simon, sang empunya rumah, sebagai ulah dia.
Guay, Taurand, dan Weitzmann pun merancang elemen-elemen penutupan informasi agar terus menciptakan rasa penasaran terhadap kebenaran dalam filmnya. Menjaga jarak agar penonton tetap diliputi rasa ingin tahu yang besar, dan terus memunculkan berbagai dugaan. Memangnya benar bahwa pelaku seluruh peristiwa tidak menyenangkan di rumah Simon adalah ulah Fonzic? Atau jangan-jangan ada orang lain yang tengah memanfaatkan situasi? Sembari penonton berputar-putar dengan dua pertanyaan ini, para penulis “mencekoki” kita dengan sejarah, pertengkaran karena beda pemikiran, dan kampanye-kampanye tentang kebenaran dan keberanian untuk bersuara. Sampai-sampai mereka lupa pada adanya peluang untuk menutup film dengan ending yang mengejutkan. Pada peluang agar para tokoh yang menyebalkan di mata penonton mendapat balasan setimpal. Minimal, rasa malu karena salah tuduh.
Sineas The Man in the Basement mengerjakan film ini degan tone warna yang selalu gelap, suram, kelam, dan dingin. Walau ada sedikit perkembangan karakter dari satu-dua tokoh, tak ada perubahan berarti dalam visualnya. Jika film ini diproduksi di Indonesia dengan bobot isu yang sama besar dan eksekusi pengemasan sinematik serupa, hasilnya tidak akan terlalu mengagumkan. The Man in the Basement menjadi tampak menarik dan bagus, karena kontennya adalah sesuatu yang lekat dengan demografinya. Dalam kata yang lebih sederhana, ada nilai lokalitas sekaligus universalitas di sana.
The Man in the Basement sekadar film padat isu yang juga mengampanyekan nilai-nilai pemikiran kritis dan kebenaran, namun tanpa daya tawar kuat dari segi sinematik. Guay dan rekan penulisnya melihat film garapan mereka hanya sebagai medium untuk memvisualkan keresahan dan rasa jengah semata. Bahkan ending yang mestinya dapat dimanfaatkan agar penonton bersimpati kepada sang tertuduh dan melihat si penuduh mendapat efek jeranya, tidak ada. Sang tertuduh hilang entah ke mana, si penuduh kembali ke keluarganya. Ending yang sama sekali tidak diharapkan, sekaligus memvalidasi bahwa The Man in the Basement hanyalah film orasi.