Season 1: The Child

Musim pertama mengisahkan pertemuan antara Din dan Grogu (belum disebut nama). Sang bayi cilik ini rupanya adalah paket rahasia nan penting yang harus diantar Din ke seseorang yang berada di pihak Empire. Setelah berhasil mengantar paket, Din pun merasa bersalah, lalu nekat mengambil kembali bayi tersebut. Din dan sang bayi tidak hanya diburu oleh pihak empire, namun juga sesama pemburu bayaran dengan hadiah besar untuk kepalanya. Kisah musim pertama ini boleh dibilang adalah introduksi bagi sosok Din dan Grogu, termasuk beberapa karakter yang kelak dekat dengan mereka pada musim selanjutnya, seperti Greef Garga, Peli Motto, Cara Dune, Fennec Shand, Cobb Vants, sang antagonis Moff Gideon, serta sosok Mandalorian pandai besi, The Armorer.

Sama seperti kebanyakan film Star Wars lainnya, aspek mise_en_scene, yakni setting, kostum, properti serta lainnya menjadi salah satu kekuatan terbesar dalam seri ini. Kita diajak berjalan-jalan ke planet-planet eksotis dengan beragam kondisi, macam Tatooine (planet asal Obi-Wan dan Luke), Navaro, Arvala-7, Sorgan, hingga interior pesawat angkasa dengan ragam variasi dan ukuran. Aksi-aksi dan visualisasi CGI, pencapaiannya kurang lebih setara dengan film-film feature-nya. Konon seri ini, saya baca dalam sebuah artikel menggunakan teknologi LED raksasa yang memungkinkan untuk memasang “setting” apa pun di belakang sebuah pengadeganan (tidak lagi menggunakan blue/green screen). Hasilnya memang sungguh luar biasa natural. Ini adalah sebuah terobosan besar yang kelak bakal mengubah industri. Kamu bisa mencarinya di kanal youtube: on set mandalorian.

Alur kisah seri The Mandalorian ibarat bermain Role Playing Game (RPG) di mana sang protagonis berpetualang ke berbagai tempat, bertemu karakter baru (protagonis maupun antagonis), mereparasi dan meng-upgrade pesawat, meng-upgrade kostum dan senjata, serta kebanyakan adalah aksi bertahan hidup. Satu serinya bahkan mengadopsi cerita film Jepang Klasik arahan Akira Kurosawa, Seven Samurai, ketika satu desa bertahan dari serangan para bandit yang mengambil hasil panen mereka. Walau hanya dalam skala kecil, namun kisahnya tetap menghibur. Kisah terbaik seri ini adalah episode The Sin, ketika Din akhirnya memutuskan untuk melanggar aturan dengan mengambil kembali sang bayi dari pihak kekaisaran. Dalam perkembangan seri ini diketahui bahwa sang bayi rupanya memiliki kekuatan untuk mengendalikan benda melalui psikisnya serta mampu menyembuhkan luka berat. Sang bayi rupanya adalah seorang Jedi.

Season 2:  Searching for The Jedi

Din mendapat mandat dari sesepuhnya (The Armorer) untuk mengantarkan sang bayi ke kaumnya (Jedi). Ia pun mencoba mencari tahu keberadaan Jedi yang memang nyaris punah akibat Order 66 (Eps. 3). Hanya untuk mendapatkan informasi ini, Din dan rekan ciliknya harus mengalami petualangan hebat dan bertemu sosok-sosok baru, seperti Bo-Katan Kryze (putri bangsawan Mandalorian), Boba Fett, Ashoka Tano, serta seorang Jedi besar dalam jagad Star Wars. Mereka juga masih bersinggungan dengan sosok-sosok seri sebelumnya, yakni Greef Carga, Cara Dune, Peli Motto, dan Fennec Shand. Pertemuan Din dengan Bo-Katan dan Boba Fett adalah titik tolak bagi pengembangan kisah musim berikutnya.

Baca Juga  Daftar Lengkap Nominasi Festival Film Indonesia (FFI) 2019: Hilangnya Kategori Pemeran Anak Terbaik, hingga Tahunnya Gina S. Noer

Musim kedua ini lebih banyak menyinggung kedekatan batin antara Din dan Grogu. Dalam seri ini, nama Grogu barulah muncul oleh sosok Jedi perempuan tangguh, Ashoka Tano (Rosario Dawson). Episode ini berlangsung menarik, berlatar sebuah planet unik bernama Corvus yang bernuansa Asia dengan atmosfir kelam ala Tim Burton. Bagi fans yang sudah lama tak melihat pertarungan light saber, di sini bakal terpuaskan. Setting gelap dan berkabut membuat pertarungan ini begitu dramatik dan estetik. Tidak hingga episode pamungkas, salah satu adegan terbaik dalam jagad sinematik Star Wars yang mengejutkan para fans fanatiknya. Luke Skywalker (Mark Hamill) muncul dengan segala pesona Jedinya menghancurkan puluhan robot berteknologi baru milik kekaisaran. Di sini kita baru menyadari betul betapa kuatnya sosok Jedi. Seorang petarung hebat sekelas Din, mati-matian untuk menghabisi hanya satu robot saja, sementara Luke hanya butuh waktu singkat untuk menghabisi puluhan robot.

Seri Boba Fett: Fight for Tattoine

Seri bertotal 7 episode The Book of Boba Fett memang bukan tentang Din dan Grogu, namun seri ini boleh dibilang adalah Musim 2.5 bagi seri The Mandalorian. Sosok Din mendapat 3 episode dalam seri ini dan nyaris dominan kemunculannya. Di luar plot tentang memerdekakan Tattoine dari para pebisnis anarkis yang mengincar sumber daya alam terbesar di planet ini, kisah relasi Din dan Grogu mendapat tempat cukup banyak, pun Luke Skywalker.

Luke yang melatih Grogu dengan gaya Yoda, memberi kita sensasi nostalgia episode 5, Empire Strikes Back. Falsafah Jedi yang tidak memaksa dan mengalir sejalan the force, menyajikan pemahaman baru yang tidak pernah kita lihat sebelumnya. Secara mengejutkan, Grogu diberi pilihan untuk berlatih menjadi seorang Jedi besar atau pergi bersama Din. Tak tanggung-tanggung, Grogu diming-imingi lightsaber milik Yoda. Kita pun tahu Grogu bakal memilih siapa.

Sementara plot seri Boba sendiri secara mengejutkan menyinggung tentang isu kolonialisme. Kelompok The Trade ingin mengambil-alih Tattoine dengan bekerja sama dengan penguasa lokal untuk menguasai rempah di planet tersebut. Ibarat Tatooine adalah kisah “Dune” cilik yang dimenangkan oleh warga lokal dengan Boba sebagai sang pahlawan. After all, seri ini adalah tentang Boba, bukan Din dan Grogu.

NEXT: SEASON 3: FIGHT FOR MANDALORE

1
2
3
4
Artikel SebelumnyaGhosted
Artikel BerikutnyaScream 6
His hobby has been watching films since childhood, and he studied film theory and history autodidactically after graduating from architectural studies. He started writing articles and reviewing films in 2006. Due to his experience, the author was drawn to become a teaching staff at the private Television and Film Academy in Yogyakarta, where he taught Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory from 2003 to 2019. His debut film book, "Understanding Film," was published in 2008, which divides film art into narrative and cinematic elements. The second edition of the book, "Understanding Film," was published in 2018. This book has become a favorite reference for film and communication academics throughout Indonesia. He was also involved in writing the Montase Film Bulletin Compilation Book Vol. 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Additionally, he authored the "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). Until now, he continues to write reviews of the latest films at montasefilm.com and is actively involved in all film productions at the Montase Film Community. His short films have received high appreciation at many festivals, both local and international. Recently, his writing was included in the shortlist (top 15) of Best Film Criticism at the 2022 Indonesian Film Festival. From 2022 until now, he has also been a practitioner-lecturer for the Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts in the Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.