The Mother and the Bear adalah film drama produksi patungan Canada-Chili arahan Johnny Ma yang naskahnya juga digarap oleh sang sineas. Film ini diputar pada hari pertama perhelatan Jeonju International Film Festival (IFF) 2025 di beberapa teater. Film ini dibintangi Kim Ho-jung, Leere Park, Lee Won-jae, serta Jonathan Kim. Film berdurasi 100 menit ini juga telah meraih Outstanding Canadian Feature di ajang Cinéfest Sudbury, Canada.
Sara (Ho-jung) segera bertolak ke Winnipeg, Canada, ketika putrinya, Sumi (Park) mengalami kecelakaan. Sang putri mengalami koma, akibat terpeleset di sebuah gang kota ketika melihat seekor beruang. Sembari menanti sang putri siuman, sang ibu pun mencoba mengisi waktunya dengan beragam aktivitas di negeri yang asing dan dingin baginya. Ia pun berinteraksi dengan beberapa, salah satunya Sam (Won-jae), imigran asal Korsel yang memiliki restoran Korea di sana. Sara pun, lambat laun mulai memahami kehidupan sang putri dan mengapa Sumi betah di sana.
Sesaat kisahnya bermula, sisi sinematografi yang apik telah tersaji dengan dominan. Dengan menggunakan teknik hitam putih, terlihat komposisi terukur dan variasi sudut kamera dalam beberapa shot statis-nya. Sang sineas juga sering kali menyelipkan shot suasana lingkungan dan kota yang membantu membangun mood kisahnya. Bahkan dalam beberapa momen, kamera pun kadang ikut bergoyang mengikuti suasana hati sang karakter yang tengah kebingungan. Pembuat film tahu betul, bagaimana memanfaatkan potensi kamera dalam tiap pengadeganannya.
Di luar aspek teknisnya, satu kekuatan terbesar film ini adalah penampilan memikat Kim Ho-jung. Penampilannya yang polos sebagai seorang ibu yang amat mencintai putrinya serta kekagokannya dalam menghadapi lingkungan baru, terlihat begitu natural dan ekspresif secara bersamaan. Kita bisa sungguh berempati dengan sang karakter dengan segala kepolosan dan kekonyolan polahnya. Beberapa adegan terasa begitu membekas, seperti ketika ia melantunkan “Unchained Melody” di depan cermin, bermain aplikasi dating dengan mengirimkan gambar saru, polah paniknya ketika mobil adiknya hilang di depan rumah, hingga menggunakan alat “pemijat” milik putrinya. Kim adalah bintangnya.
Di atas semua, ketrampilan sang sineas dalam mengolah adegan dan shot-nya patut diapresiasi tinggi. Kedalaman naskah serta pesan cerita yang “klise”, di tangan sang sineas terlihat sekali begitu personal dengan diwakili bahasa sinematik yang berkelas. Titel The Mother and the Bear adalah kunci dari semua. Poin kisahnya adalah seorang ibu yang belum bisa menerima putrinya yang kini telah dewasa, yang ini telah kita jumpai dalam ratusan kisah film. Kisahnya adalah pendewasaan bagi sang ibu, bagaimana ia harus menerima realitas bahwa kebahagiaan memiliki perspektif yang tidak selalu sama bagi tiap orang. Bukankah ini mengingatkan pada film peraih Oscar, Everything Everywhere All at Once? Namun, sang sineas mengemasnya melalui gaya yang berbeda.
Tone warna hitam putih dan “musim salju” menggambarkan dunia yang asing bagi ibu, seperti halnya ia tidak mampu memahami putrinya. Seekor kucing peliharaan putrinya, tidak pernah sekalipun tampak selama ia di rumah, tidak hingga akhir. Sang beruang menggambarkan hasrat dan emosi (ego) sang ibu yang meluap untuk “memaksakan” putrinya menjadi seperti dirinya. Ending-nya ketika sang ibu bertemu sang beruang menegaskan bagaimana ia bisa berdamai dengan dirinya. Di sebuah negeri yang bersuhu ekstrem minus beberapa puluh derajat, rupanya terdapat kehangatan yang akhirnya bisa dipahami sang ibu. The Mother and the Bear adalah perpaduan narasi dan pencapaian estetik yang begitu manis dan menyentuh.
The Mother and The Bear menyajikan sebuah perspektif kisah ibu dan putrinya yang unik di negeri perantauan, melalui kemasan estetika serta penampilan akting sang ibu yang memukau. Walau tidak disajikan kompleks layaknya Everything Everywhere, The Mother and the Bear memiliki kekuatan dan kedalaman yang sama. Sang sineas, Johnny Ma mampu memberikan sentuhan hangat dalam situasi yang teramat dingin dengan gaya elegan. Talenta sang sineas jelas tidak bisa dianggap remeh. Saya berharap film yang membekas dan menyentuh ini bisa meraih sukses dalam berbagai ajang festival di dunia serta mencapai pentas tertinggi.