Thongkam (Jeff Satur) merasa sumber kebahagiaannya lenyap ketika pasangan sesama jenisnya, Sek (Toey Pongsakorn Mettarikanon) mengalami kecelakaan dan tewas. Namun, neraka sesungguhnya baru datang ketika keluarga Sek mengklaim kebun durian beserta rumahnya. Konflik rebutan warisan yang dikemas dengan unsur sosial kemasyarakatan Thailand ini disajikan secara melodramatis dalam The Paradise of Thorns.
Awalnya Thongkam merasa bersimpati dengan ibu Sek, Saeng (Srida Puapimol). Ia hanya punya Sek sebagai putra satu-satunya. Tubuhnya lumpuh dan ia bergantung dengan kursi roda sejak jatuh dari tebing. Thongkam memutuskan untuk rutin mengantar dan menemani Saeng setiap kali ke rumah sakit. Ia juga berniat memberikan uang bulanan ke Saeng yang ia anggap sebagai ibu mertuanya.
Namun kebaikan Thongkam, dibalas dengan racun. Saeng bersama Mo (Engfa Waraha), anak angkatnya, bersikeras kebun dan rumah yang beratas nama Sek, adalah miliknya. Ia akan segera mengganti nama sertifikat. Padahal selama ini Thongkam yang mengeluarkan uang untuk mengurus kebun. Konflik makin memanas ketika Mo mendatangkan adik laki-lakinya, Jingna (Harit Buayoi). Mereka menguasai rumah Thongkam dan kebunnya. Thongkam kemudian menyusun rencana balas dendam, ketika menyadari hukum tak berpihak kepadanya.
Film The Paradise of Thorns menjadi salah satu film yang populer dan banyak diburu selama ajang Jakarta World Cinema bulan September lalu. Tiket film ini juga cepat ludes pada Jakarta Film Week. Di Thailand, film yang disutradarai oleh Boss Kuno alias Naruebet Kuno ini juga sukses, mengikuti jejak How To Make Millions Before Grandma Dies, yang juga sama-sama diproduksi oleh GDH 559.
Film ini menarik karena dekat dengan isu yang lagi hangat di Thailand, yakni tentang desakan untuk segera melegalkan pernikahan sesama jenis. Selain itu, jarang-jarang ada film yang mengangkat cerita tentang kebun durian yang diwarnai konflik perebutan warisan antara keluarga dan ‘duda’ pasangan sesama jenis.
Seperti durian yang memiliki duri tajam, namun memiliki rasa yang sedap, unsur LGBTQ dalam film ini yang cukup frontal, agak berisiko untuk pasar Indonesia. Apalagi jika memperhatikan plot dan karakterisasinya, muatan politik tentang pernikahan sejenis ini cukup kental. Namun, pihak distributor ‘tahu diri’ dan memberikan rating usia 21+. Bagi sebagian sinefil, isu LGBTQ tersebut bisa jadi bukan hal yang menonjol. Oleh karena nuansa suspence-nya lebih menonjol, didukung dengan skoring yang mencekam dan porsinya pas.
Tidak ada karakter yang benar-benar hitam putih dalam film ini meskipun Saeng dan Mo menjadi pihak penindas, dan Thongkam berasa di pihak sebaliknya. Setiap karakter digambarkan tak sempurna, juga memiliki latar belakang dan motif tersendiri yang bisa menarik simpati penonton. Karakter ini juga berkembang sepanjang film. Saeng, misalnya. Ia tak tahan hidup penuh penderitaan seumur hidupnya, apalagi setelah ia lumpuh. Namun ia kemudian mulai berubah jadi kikir dan tamak ketika melihat kebun durian dan rumah yang beratas nama anaknya.
Desain karakter yang kompleks ini berhasil dihidupkan oleh jajaran pemain. Garis wajah Saeng menunjukkan kerasnya hidup yang ia jalani sehari-harinya. Srida Puapimol tampil luwes sebagai ibu mertua yang menderita, namun kemudian berubah jadi penindas. Engfa Waraha juga berhasil menjadi sosok Mo yang dibenci dengan senyum licik dan gerak-geriknya yang penuh strategi. Namun, yang paling mencuri perhatian adalah Jeff Satur yang di sini memiliki selera fesyen yang unik. Sebagai Thongkam, ia pandai memainkan sorot mata yang bisa berarti banyak makna.
Kebun durian dominan dalam film ini, tidak hanya sebagai tempelan cerita. Kebun durian dinampakkan dari berbagai sisi, saat terang juga saat malam. Hidup Thongkam sepenuhnya tercurah ke durian, sejak bertanam hingga menjual hasil panenan. Gambar-gambar pohon dan kebun durian ini ditampilkan variatif dan dramatis.
Isu LGBTQ dan legalitas pernikahan sejenis dalam The Paradise of Thorns bersanding dengan isu lainnya seperti tradisi patriarki dan unsur tradisi yang kental. Cerita kemudian makin pelik ketika rahasia demi rahasia kemudian terkuak.
Seperti durian yang lezat ketika matang sempurna, nikmatilah proses menikmati tontonan The Paradise of Thorns dengan perlahan-lahan, hingga konfliknya memuncak. Namun, memang tidak semua orang menyukai aroma dan rasa durian, sehingga film ini mungkin bukan pilihan semua orang.