The Photograph adalah sebuah film karya Nan T. Achnas yang sebelumnya kita kenal melalui filmnya Pasir Berbisik dan Bendera. Seperti film-film karya sang sineas sebelumnya, film ini kembali mengangkat tema yang tidak lazim, jauh berbeda dengan tren horor, komedi, dan percintaan remaja yang berkembang saat ini. Film ini jelas tidak ditujukan untuk kalangan penonton awam namun lebih untuk segmen penonton khusus yang memiliki selera seni “tinggi”. Uniknya pula, pemeran pria utama menggunakan aktor kawakan asal Singapura, Lim Kay Tong.
Cerita filmnya berpusat pada dua tokoh utama yakni, Sita (Shanty), seorang ibu muda yang merantau jauh ke kota untuk mencari nafkah, serta Pak Johan (Tong), seorang fotografer tua keturunan Tionghoa yang selalu dibayangi memori kematian istri dan anaknya. Sita bekerja sebagai seorang penyanyi di sebuah klub malam. Ia membanting tulang demi putri dan neneknya yang sakit-sakitan di kampungnya. Sita yang memiliki banyak masalah di tempat kerjanya akhirnya tinggal dan bekerja di tempat Pak Johan. Selama tinggal di tempat Pak Johan, Sita banyak menimba pelajaran hidup dari sang fotografer baik suka maupun duka.
Bagi penonton awam film ini boleh jadi sangat membosankan karena cerita yang datar serta tempo cerita yang lambat. Namun justru inilah yang menjadi kelebihan film ini. Bahasa visual lebih banyak berbicara ketimbang ceritanya sendiri. Kekuatan filmnya terutama tampak pada komposisi fotografi yang cukup menawan. Shot-shot banyak didominasi oleh kamera statis dengan hanya sesekali menggunakan pergerakan kamera. Sineas juga sering kali bermain dengan efek kedalaman gambar yakni, permainan latar depan dan latar belakang. Pilihan set perkampungan Tionghoa yang kumuh didukung tata cahaya low-key lighting sangat pas dengan kisah suram Sita dan Pak Johan. Last but not least, Lim Kay Tong bermain begitu menawan sebagai sosok Pak Johan yang dingin.
Terlalu banyak masalah dalam cerita filmnya namun tak ada yang terjawab tuntas. Masalah Sita, rasa bersalah Pak Johan pada istri dan anaknya, pencarian penerusnya, serta rasa bersalah pada leluhur. Semuanya tak ada yang terjawab dan hanya diselesaikan dengan sederhana melalui “Kematian”. What’s so special about it? Hal yang juga mengganjal adalah tidak jelasnya motif penggunaan narator, yakni Yani, putri Sita. Siapa sebenarnya Yani (sekarang)? Apa pengaruh pengalaman ibunya tersebut terhadap dirinya tidak dijelaskan. Hanya disebutkan di awal film jika, “kisah ini menyentuh saya (Yani)”. So what? Apanya yang tersentuh? Kenapa bukan Sita yang menjadi narator. Sitalah yang mengalami semua peristiwa dan mungkin memengaruhi kehidupannya setelah ini.
Film ini sedikit banyak mengingatkan penulis pada sebuah film produksi Hong kong berjudul, The King of Masks arahan Wu Tianming yang berkisah tentang laki-laki penari topeng yang mencari seorang bocah sebagai penerusnya. Kisahnya sedikit mirip dengan The Photograph hanya bedanya film ini memiliki alur cerita jauh lebih dramatik dengan ending yang begitu kuat. The Photograph memiliki potensi cerita (tema) yang cukup untuk memiliki pukulan akhir yang mematikan, namun sayangnya berakhir datar-datar saja. Masih jauh tampaknya jika The Photograph ikut bersaing dalam ajang-ajang kompetisi film bergengsi.