Sutradara: Gareth Huw Evans
Produser: Ario Sagantoro
Penulis Naskah: Gareth huw Evans
Pemain: Iko Uwais / Yayan Ruhian / Ray Sehetapy / Donny Alamsyah
Sinematografi : Matt Flannery
Editing: Gareth Huw Evans
Ilustrasi Musik: Fajar Yuskemal / Aria Prayogi
Studio:  Merantau Films
Distributor: Celluloid Nigthmares  (world wide) /Sony Pictures Classic (US)
Durasi: 94 menit
Bujet: $ 1,1 juta
The Raid terhitung adalah film pertama kita yang sukses diputar secara luas di seluruh dunia, termasuk di Amerika. Film ini bahkan mendapat banyak pujian kritikus disana karena aksi tarungnya yang dianggap merupakan terobosan baru untuk genre ini.  Boleh saja kita berbangga namun dibalik itu apakah aksi kekerasan yang teramat sadis dan brutal seperti ini yang akan kenang sebagai film yang membawa perubahan bagi sinema kita?
Gareth Evans bersama Iko Uwais pernah berkolaborasi dalam film aksi Merantauyang kisahnya lebih bersahaja. The Raidsama sekali tidak menawarkan cerita, aksi kekerasan semata-mata yang dijual. Plotnya yang minim mendukung agar adegan aksi bisa dieksploitasi maksimal. Kisahnya sangat sederhana, pasukan elit khusus dikirim ke sebuah apartemen kumuh berlantai 15 yang merupakan sarang para penjahat kelas kakap hingga kelas teri yang dipimpin oleh sang bos, Tama ( Ray Sehetapy). Pasukan elit yang dikomandani Jaka (Joe Taslim) menyusup secara diam-diam, targetnya Tama yang berada di lantai 15. Belum ada separuh jalan, penyusupan terbongkar, semua akses keluar ditutup, dan Tama mengerahkan seluruh anak buahnya untuk menghabisi mereka. Jaka, Rama (Iko Uwais) yang menjadi jagoan kita, bersama anggota lainnya, tidak bisa lain selain bertahan hidup mati-matian.

Cerita memang bukan fokusnya, 90% isi filmnya hanya aksi, aksi, dan aksi namun bukan berarti logika bisa dikesampingkan begitu saja. Tutup semua akses dan komunikasi, kata Tama. Bagaimana cara menutup akses komunikasi? Tidak adakah satu anggota pasukan saja yang membawa handphone atau alat komunikasi lainnya untuk meminta bantuan. Mobil panser pasukan elit diberondong habis oleh para penjahat dengan senjata mesin, tak jauh dibelakang tampak berlalu-lalang kendaraan sedemikian ramai, apa suara sekeras itu tidak menarik perhatian sekitar? Di awal film ada dua penembak jitu dari gedung sebelah yang menghabisi tiap pasukan elit yang diluar gedung bahkan di dalam yang mendekati jendela, kemana mereka? Lalu bagaimana mungkin bangunan gedung berlantai 15 menggunakan lantai konstruksi kayu? Dan masih tidak terhitung lainnya.

Baca Juga  The Woman in Black

Lalu adegan aksinya sendiri? Beberapa adegan aksi terutama tarung tangan kosong yang menggunakan gaya tarung silat memang dikoreografi dengan mengesankan. Jarak dan sudut kamera dikombinasi dengan editing mampu menghasilkan aksi tarung yang enak ditonton. Namun yang menjadi isu disini adalah kekerasan yang teramat brutal dan sadis. Adegan mematahkan leher rasanya belum pernah disajikan senyata dan sedramatik ini dalam film. Sepertinya kombinasi pencapaian teknik dan aksi brutal ini memang yang menjadi andalan dan disukai penonton dan pengamat luar. Semua tergantung Anda yang menonton filmnya. Bagi saya film ini adalah semata-semata pemuas penonton yang haus akan aksi tarung brutal dan sadis. Tidak lebih. Sungguh sangat memprihatinkan melihat banyak penonton anak-anak sewaktu saya menonton film berating Dewasa ini.

Artikel SebelumnyaThe Hunger Games
Artikel BerikutnyaMirror Mirror
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.