The Revenant (2015)

156 min|Action, Adventure, Drama|08 Jan 2016
8.0Rating: 8.0 / 10 from 899,014 usersMetascore: 76
A frontiersman on a fur trading expedition in the 1820s fights for survival after being mauled by a bear and left for dead by members of his own hunting team.

The Revenant adalah sebuah proyek ambisius sineas peraih Oscar tahun lalu, Alejandro G. Iñárritu. Konon banyak sekali masalah dalam produksinya, diantaranya lokasi produksi yang amat sulit, lalu banyak kru yang mengundurkan diri, hingga bujet membengkak hingga US$135 juta. Namun semuanya lunas sudah oleh sukses kritik dan komersil pada rilisnya. Film telah meraih puluhan penghargaan dan termasuk sukses di ajang Golden Globe baru lalu meraih film terbaik, serta 12 Nominasi Oscar pada ajang Academy Awards yang awal Februari besok baru akan dilangsungkan. Film ini sendiri diinspirasi dari kisah nyata Hugh Glass yang diadaptasi novel berjudul sama karya Michael Punke.

Alkisah Hugh Glass (DiCaprio) beserta putranya, Hawk, yang keturunan Indian, menjadi pemandu dalam sebuah ekspedisi pencarian bulu hewan di alam utara yang dingin dan ganas. Dalam satu momen mereka disergap Indian dan sebagian besar tewas dibantai dengan sadis dan hanya sedikit yang berhasil lolos dengan kapal kecil. Atas saran Glass mereka turun dari kapal dan memutuskan berjalan kaki ke Fort Kiowa. Pimpinan kelompok, kapten Andrew (Gleeson) setuju namun tidak oleh Fitzgerald (Hardy), seorang pemburu oportunis yang memiliki trauma dengan Indian. Saat bermalam di hutan, Glass diserang oleh beruang hingga luka parah. Dianggap sudah tidak memiliki peluang hidup, Glass ditinggal oleh rombongan dan harus berjuang sendirian untuk bertahan hidup.

Kisah cerita diawali dengan tempo cepat dalam situasi serba tidak jelas. Tidak ada latar cerita dan penonton langsung dihadapkan pada situasi menegangkan ketika kelompok ekspedisi ini diserang membabi buta oleh suku Indian. Inti plot sesungguhnya baru kita ketahui setelah memasuki babak kedua dan tema perjuangan hidup serta balas dendam menjadi menu utamanya. Sebuah kisah dramatik memang namun tema survival yang sama sudah beberapa kali kita lihat dalam medium ini. Film ini banyak mengingatkan pada Touching the Void, film dokumenter gaya fiksi berkisah tentang pendaki gunung yang mengalami kecelakaan dan nasibnya nyaris serupa dengan Glass. Sepertiga akhir kisah sudah bisa diprediksi mau kemana arahnya dengan klimaks yang dramatis. Saya baru menonton film ini sekali saja semalam, dan masih terganggu dengan motif si kepala suku Indian meminta amunisi kepada tim ekspedisi Perancis yang ternyata menculik putrinya. Motif suku Indian menyerang jelas karena mereka menculik sang putri dan masih ada informasi yang tak jelas di kisahnya yang bisa menggangu logika cerita kelak.

Baca Juga  Detroit

Satu hal yang menarik adalah lokasi produksi di wilayah pegunungan yang bersalju. Jelas sekali tampak banyak tantangan dalam produksinya dan ini tampak jelas di filmnya. Mata kamera seringkali menangkap pemandangan nan indah sekaligus menyeramkan di kala badai salju. Sinematografer kawakan, Emmanuel Lubezki sudah tak perlu diragukan lagi kemampuannya. Dalam beberapa adegan aksi, disajikan begitu realistik karena ia suka berlama-lama menahan shot-nya (long take), seperti adegan ketika Glass dicabik-cabik beruang. Amat mengerikan sampai bergidik melihatnya. Namun saya juga merasakan terganggu dengan gerak kamera (pan) yang terlalu cepat dari satu karakter ke karakter lainnya, serta distorsi gambar terutama ketika shot-shot dekat. Ini memang sudah resiko teknik long take (minim editing) namun ini membuat mata cepat lelah dan kadang menjauhkan saya dari filmnya.

Leonardo DiCaprio sepanjang film hanya berucap beberapa dialog saja, dalam sebagian besar adegan, ia hanya menggeram dan mengerang kesakitan. Komitmen sang aktor dalam banyak adegan di lokasi lapangan yang demikian sulit memang patut diacungi jempol. Sementara Tom Hardy justru sebaliknya, karakternya banyak omong dan terlihat sekali ia sangat menikmati peran antagonisnya. Dua aktor ini bermain dalam performa terbaik mereka. Beberapa pencapaian istimewa di film ini jelas pada aspek rias karakter yang mampu membuat luka di badan dan wajah dengan sangat realistik. Dijamin mampu membuat penonton merinding melihatnya. Lalu aspek tata suara yang mampu membawa penonton benar-benar masuk dalam suasana filmnya serta ilustrasi musik yang secara dramatik mendukung mood adegan demi adegan.

The Revenant adalah sebuah proyek ambisius sang sineas dengan tingkat kesulitan tinggi dalam produksinya dan DiCaprio serta Hardy telah memberikan segalanya. Gaya sinematografi sineas yang khas mampu merekam adegan demikian realistik namun kadang membuat tak nyaman dan melelahkan. Amat disayangkan, The Revenant dirilis terlambat disini dan kita semua tahu film ini telah mendapat pujian banyak sekali pengamat dan mendominasi nominasi Oscar tahun ini. Sensasi pengalaman menonton film sejenis sudah saya rasakan sebelumnya, tak ada yang baru, dan juga sebuah pengalaman sinematik yang cukup melelahkan selama 2,5 jam.

Watch Video Trailer

PENILAIAN KAMI
Overall
70 %
Artikel SebelumnyaThe Finest Hours
Artikel BerikutnyaSurat dari Praha
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.